Jumat, 09 Januari 2015

PERANG DIPONEGORO

PERANG DIPONEGORO (1825-1830)
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh ahli sejarah, perang ini menewaskan sekitar 200.000 orang warga pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh di wilayah Jawa, sehingga disebut Perang Jawa.
Adapun yang melatarbelangkangi perang ini yaitu, Setelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak hasil bumi diambil oleh Belanda.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro, diakses pada tanggal 9 November 2014)
Pada bulam Mei 1825, sebuah jalan dibangun didekat Tegalrejo pihak belanda yang membuat jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo tanpa persetujuan dari pangeran diponegoro. Pangeran diponegoro dan masyarakat merasa tersinggung dan marah karena Tegalrejo adalah tempat makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Selain itu pembuatan jalan tersebut akan menggusur banyak lahan. Hal inilah yang menjadi titik tolak terjadinya perang Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah tanah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H.Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undanganitu ditolak mentah-mentah olehnya.Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.
Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro besrta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, lalu meneruskan kearah selatan sampai ke Goa Selarong (Junaidi, PT Mapan: 2007).
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung,yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro, diakses pada tanggal 9 November 2014). Selain itu juga ikut bergabung dalam barisan Pasukan Pangerang Diponegoro adalah Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) .
Pada tanggal 20 juli 1925 merupakan permulaan dari perang Jawa dimana Pangeran Diponegoro menggunakan Strategi perang gerilya dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V. ( Abdul Qadir Djaelani, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah: 1999).
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. ((http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro, diakses pada tanggal 10 November 2014) Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun dihutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melaluiinsinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829 Pangeran Diponegoro dan tentaranya kesulitan. Selain akibat Benteng Stelsel yang dilakukan oleh Belanda, kesulitan juga disebabkan adanya perselisihan di antara para pemimpin. Pangeran Diponegoro berbeda pandapat dengan Kyai Mojo tentang maslah pemerintahan dan agama. Menurut pangeran Diponegoro, masalah pemerintahan dan agama cukup dipegang dalam satu tangan. Sementara itu. Kyai Mojo berpendapat bahwa masalah pemerintahan dan agama harus terpisah. Sentot Ali Basa yang berselisih pendapat dengan pangeran Diponegoro akhirnya memilih menyerah pada Belanda stelah permintaatnya dikabulkan oleh Belanda. Pangeran mangkabumi menyerah pada Belanda pada bulan September 1829, setelah beberapa pemimpin yang lainnya menyerah terlebih dahulu.
Walaupun beberapa pemimpin lainnya tertangkap, Pangeran Diponegoro tetap meneruskan perlawanan dangan semangat berjihad melawan kekuasaan asing yang ada di pulau Jawa. Pada awal tahun 1830, Pemimpin tentara Belanda jenderal de Kock bermaksud segera mengakhiri perang dengan jalan mengadakan perdamaian. Jenderal de Kock mengatakan apabila tuntutan pangeran Diponegoro tidak dapat dipenuhi dan perundingan gagal, maka Pangeran Diponegoro dapat meneruskan perang. Karena itu pada tanggal 21 januari 1830 diadakan perundingan awal di Bukit Menoreh. Pangeran Diponegoro dan tentaranya datang ke tempat tersebut. Perundingan berikutnya diadakan pada tanggal 28 maret 1830 di Rumah Residen Kedu di kota Mangelang. Ketika tuntutan pangeran Diponegoro agar beliau diakui sebagai pemimpin umat Islam se-jawa tidak dikabulkan oleh Belanda, Pangeran Diponegoro langsung ditangkap. Siasat licik seperti ini memang sering dilakukan oleh Belanda. Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia kemudian diasingkan ke Manado. Dari Manado, Pangeran Diponegoro dibawa Ke Makassar. Ia kemudian ditawan di benteng Rotterdam dan meninggal di sana pada tanggal 8 januari 1855. ( Drs. Prawoto, M.Pd., Yudhistira Quadra: 2006).

Hasil Diskusi: Pertanyaan dan Jawaban

1. Apa permintaan Sentot Ali Basa terhadap Belanda dan akhir kisah perang Diponegoro ? (Asrullah)
- permintaan yang diajukan oleh Alibasah; yaitu:
(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-
(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
(c) Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia;
(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.
- Adapun akhir kisah dari perang Diponegoro ini adalah dimana Pangeran Diponegoro ditangkap, lalu Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia kemudian diasingkan ke Manado. Dari Manado, Pangeran Diponegoro dibawa Ke Makassar. Ia kemudian ditawan di benteng Rotterdam dan meninggal di sana pada tanggal 8 januari 1855.
2. Dasar apa yang menyebabkan dari 19 pangeran hanya 15 pangeran yang ikut perperang dalam Perang Diponegoro ? (Mucklis)
- Perlu kita ketahui Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, hal inilah salah satu penyebab mengapa hanya 15 pangeran dari 19 pangeran yang ikut bertempur. Terus kalau ditanya mengapa 15 pangeran ini ingin ikut perperang karena mereka ingin lepas dari segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, salah satunya adalah pajak yang sangat tinggi.
3. Apa setelah Perang Diponegoro selesai apakah Perang Jawa Masih berlangsung ?
Bukan hanya di Jawa tapi diseluruh Nusantara semuanya perperang melawan Penjajah, mengapa saya katakan demikian karena buktinya kita bisa merdeka.
4. Bagaimana peran Pangeran Diponegoro di Makassar ? (Ilham)
Adapun peran Pangeran Diponegoro di Makassar ialah, perlu kita ketahui bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang ulama jadi selama dia di Makassar ia melakukan Dakwah, sama halnya dengan Syech Yusuf dimanapun dia diasingkan dia tentang berdakwah.
5. Apa alasan Belanda tidak memenuhi syarat Pangeran Diponegoro ? (Nur Hijrah)
Belanda tidak menyetui atau tidak memenuhi syarat Pangeran Diponegoro karena Belanda takut taktik-taktik licik mereka tidak dapat terlaksanakan. Karena perlu kita ketahui bahwa Belanda itu sangat licik

DISUSUN OLEH
MUH. ILHAM HASANUDDIN
ABDUL KHALID
SYAMSURIADI K. HUNDA

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes