Selasa, 23 Desember 2014

Konflik Sunni dan Syiah di Sampang




Perayaan Lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang, kemarin, berubah menjadi horor. Kejadian penyerangan pada Desember 2011 terulang. Satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar akibat penyerangan, Minggu, 26 Agustus 2012. Korban tewas diketahui bernama Hamamah, 45 tahun. Dia meninggal akibat sabetan senjata tajam dari kelompok penyerang. Sedangkan korban kritis bernama Tohir, Mat Siri, Abdul Wafi, dan ibunda ustad Tajul Muluk. “Padahal ibunda ustad Tajul bukan penganut Syiah," kata Zain, anak salah seorang korban kritis, Tohir. Tajul Muluk adalah pemimpin Syiah di Nangkernang yang kini mendekam di penjara setelah divonis dua tahun bui karena penodaan agama.
Adapun korban kritis akibat sabetan senjata tajam dan lemparan batu. Kini mereka tengah dirawat di RSUD Sampang dan mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. "Untuk yang luka ringan, saya tidak tahu mereka dirawat atau tidak," kata Zain kepada Tempo. Zain, yang merupakan pengajar di pesantren Syiah, menuturkan bahwa penyerangan terjadi mulai pukul 08.00. Saat itu, sebagian besar warga Syiah sedang merayakan Lebaran ketupat. Tiba-tiba, dari arah sebelah timur yang tertutupi perbukitan, muncul ratusan orang. Mereka menyebar dengan berjalan melintasi persawahan sambil mengacungkan celurit dan berteriak. "Sekarang bukan hanya rumahnya, tapi orangnya juga harus habis," tutur Zain, menirukan teriakan itu.
Melihat itu, Zain bersama beberapa warga Syiah, termasuk korban tewas, bersembunyi di salah satu bagian rumah Tajul Muluk, yang selamat dari amuk massa dalam penyerangan sebelumnya. "Mereka tidak langsung duel, tapi melempari kami dulu dengan batu," kata Zain. Akibat lemparan batu itu, sejumlah orang Syiah mengalami cedera. Salah satunya Hamamah, yang akhirnya tewas dibantai. "Kami sembunyi dalam sungai, kami selamat setelah polisi datang," tutur Zain.
Meski selamat, Zain mengaku kecewa terhadap aparat kepolisian karena baru tiba di lokasi pukul 15.00 atau delapan jam setelah penyerangan. "Semua rumah jemaah Syiah dibakar pakai bensin, sekitar 50 rumah, termasuk rumah saya," katanya.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Hilman Thayib memastikan korban tewas akibat kerusuhan Sampang berjumlah satu orang. Hilman menuturkan kronologi yang berbeda dengan Zain. Menurut Hilman, awalnya, sebanyak 20 anak warga Syiah yang menumpang minibus dihadang 30 sepeda motor. Mereka kemudian dipaksa pulang dan dilarang belajar di pesantren Syiah yang ada di luar Sampang. "Saat itu, terjadi keributan dan perkelahian hingga menimbulkan satu korban meninggal bernama Hamamah," kata Hilman.
Pasca-penyerangan, polisi menerjunkan ratusan personel di lokasi kejadian dan dibantu personel dari Komando Distrik Militer setempat. Seluruh warga Syiah juga diungsikan ke Gelanggang Olahraga Sampang. Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) telah mengusut kasus penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang Madura, pada 26 Agustus 2012. TTR terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Andy Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan mengatakan, dalam pengusutan kasus, TTR mendapatkan 14 butir kesimpulan dari temuan penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang Madura.
"Ke-14 temuan terkait konflik, perempuan dan konflik, anak dan konflik, pelanggaran HAM, peran dan posisi negara, serta tentang konsekuensi kekerasan dan penyikapannya," kata Andy di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (26/8/2013). Andy menjelaskan, konflik antara penganut Syiah dan Sunni di Sampang bersifat kompleks, multiras, dan multidimensional. Menurutnya, faktor sosio-kultural, agama, ekonomi, dan politik, turut mendorong terjadinya konflik. "Lemahnya penegakan hukum dalam konteks pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan," ujarnya.
Mengenai perempuan dan konflik, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan jadi bagian integral dalam peristiwa intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama. Perempuan menjadi korban langsung dan tak langsung saat serangan. TTR juga menemukan anak dari kedua pihak menjadi korban, sehingga pendampingan termasuk pemulihan perlu dilakukan kepada kedua kelompok anak tersebut. Menurutnya, upaya perlindungan anak belum bersifat substansif, baik perlindungan khusus untuk anak-anak di pengungsian, maupun anak-anak di wilayah Sampang. "Dalam konflik di Sampang, ada hak-hak asasi yang dilanggar meski dijamin dalam UUD 1945,"
Negara dalam konflik tersebut belum mampu memastikan pemenuhan hak konstitusional. Negara juga belum mampu menyentuh akar konflik tersebut. Dalam konflik Sampang, pemerintah daerah dan aparat keamanan justru memerlihatkan keberpihakan pada kehendak kelompok mayoritas. Dalam kasus itu terjadi kriminilisasi warga negara atas dasar agama dan keyakinan sesuai hati nuraninya, dengan dakwaan penodaan agama.TTR menemukan vonis rendah bagi para pelaku serangan, bahkan vonis bebas terhadap Rois Al Hukana membuktikan negara gagal memberikan perlindungan HAM. Jaksa penuntut umum dan majelis hakim tidak mengusut fakta persidangan terhadap pelaku, sehingga tidak ada putusan hakim yang mengatur tentang ganti rugi materiil atas harta benda korban. Negara mengokohkan akar konflik, sehingga potensial memicu konflik ke wilayah lain. "Negara, yaitu Kementerian Agama bersama Pemkab Sampang, melakukan pemaksaan pindah keyakinan melalui 'pembinaan' bagi penganut Syiah,"
Para penduduk yang sejak awal memang tidak mempersiapkan diri untuk bertarung akhirnya terdesak. Terpaksa mereka mundur ke perkampungan, menghindar serangan warga Syiah. Dalam situasi terdesak, ada sebagian penduduk menggunakan pengeras suara milik Masjid. Dari speaker disampaikan kesediaan masyarakat sekitar untuk membantuk menghadapi serangan pengikut Tajul Muluk. Gayung pun bersambut. Terjadilah saling serang antar dua kubu”. Dari laporan tersebut, sesungguhnya ada pelanggaran kesepakatan dari pihak Syiah. Jika saja, pengikut Tajul Muluk memenuhi kesepakatan dan menerima persyaratan damai dengan cara tidak akan menyebarkan ajaran pelecehan, pasti tidak akan terjadi bentrok. Dari hasil kajian, beberapa pihak terkait melakukan upaya-upaya penyelesaian. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah aliran Syiah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain. Berdasarkan hal itu, Pemkot Sampang pun berjanji membiayai anak-anak Syiah untuk mengirim ke pondok pesantren Ahlus Sunnah. Pencegahan dini harus dilakukan. Sebab, jika anak-anak tersebut dibiarkan jadi menganut ajaran penistaan terhadap Sahabat, maka Sampang akan terus membara lagi kelak. Upaya-upaya aparatur pemerintah, ulama dan pihak keamanan harus didukung. Solusi mereka menyentuh akar utama penyebab konflik. Bahwa, penistaan terhadap Sahabat dan Istri Nabi yang dilakukan secara publik yang menjadi sebab bentrok. Menutupi akar utama, apalagi memotongnya justru akan memelihara konflik menjadi lebih besar lagi.Yang harus kita cerna baik-baik, bahwa kekerasan membabi buta adalah kriminil tapi bukan berarti Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap  penistaan agama. Terhadap aliran sesat, Islam memiliki aturan yang adil. Memang ada perintah bersikap ramah namun diperintah pula bersikap tegas. Maka dapat disimpulkan bahwa ajaran pelecehan terhadap kesucian agama-lah yang sesungguhnya memicu konflik sosial. Ajaran seperti ini jika dibiarkan memperkeruh keamanan masyarakat, karena penodaan agama hakikatnya melanggar Hak Asasi Manusia. Pelecehan terhadap agama hakikatnya pelecehan terhadap hak manusia. Sebab, hak manusia yang paling asasi adalah hak untuk menjaga agamanya. Jika kesucian agama dihujat, maka telah terjadi pelanggaran hak asasi yang berat. Pelecehan agama bukan domain toleransi lagi, sebab toleransi adalah menghormati tanpa mencaci-maki. Jika konsep toleransi ‘dibumbui’ caci maki Shahabat, maka ini toleransi yang ilusi alias rancu. "Beda keyakinan seakan-akan jadi latar belakang, padahal sebetulnya bukan begitu," ujarnya, seraya berharap agar publik tidak terlena dengan mengaitkan kasus kekerasan itu dengan soal agama. Dia menegaskan, agama kerap hanya dimanfaatkan untuk memompa emosi masyarakat. Sebab, isu agama merupakan instrumen paling mudah untuk memobilisasi sentimen massa. Klaim 'sesat' yang disematkan pada aliran syiah, lanjut Muzakki, itu dipakai sebagai amunisi untuk menggeret isu beda kepentingan sosial politik tersebut ke isu agama.
Muzakki melihat, momen pertarungan kuasa politik lokal, terutama menghadapi Pilkada akhir tahun ini, tampaknya semakin memperkeras beda kepentingan sosial dan politik keluarga yang kebetulan masing-masing punya massa besar. "Apalagi ada event politik. Pengerasan itu lalu mempertemukan berbagai kepentingan itu dalam titik yang sama," tandasnya.
"Kegamangan aparat menambah ruwetnya kongsi politik di balik kerusuhan itu," imbuhnya. Problem kekerasan di Sampang itu memang dinilai cukup ruwet. Namun, Muzakki berharap agar pemerintah membawa kasus itu ke persoalan hukum pidana, bukan ke persoalan agama.

Keterbelahan, konflik ini menyebabkan beberapa kebijakan yang diskriminatif walaupun tidak sampai pada pengkafiran. Artinya kelompok Syiah masih dianggap sebagai muslim, bahwa antara Sunni-Syiah berada dalam satu agama. Kebijakan diskriminatif dalam agama ini antara lain orang-orang Syiah masih diijinkan untuk melakukan ibadah haji di tanah suci Makkah dengan membatasi jumlah jama’ah secara ketat. Hal ini karena radikalisme politik Iran telah menyebabkan penguasa konserfatif Sunni di Saudi Arabia harus bertindak tegas.

Usaha perdamaian memang selalu dimotori oleh otoritas Syiah Iran. Namun sebaliknya tampak tak berkurang dan mungkin takkan pernah berkurang kecurigaan kalangan Sunni kepada Syiah. Masing-masing memiliki kutub yang diametral antara Sunni-Syiah sehingga komunikasi selalu berujung pada bentuk sentimen dan emosionalisme. Kecintaan yang besar kalangan Syiah terhadap ahlul bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa dari kalangan Sunni kepada para sahabat Rasulullah. Perbedaan sentimentil ini telah menyebabkan konflik mendasar dalam penentuan hukum kedua dalam Islam yaitu hadits. Kelompok Syiah menganggap ucapan atau kabar dari ahlul bait dan para imam mereka sebagai sumber hukum kedua Islam lebih terjamin karena keyakinan Syiah tentang ‘ishmah atau kemaksuman para imam. Sedangkan, kaum Sunni tentunya tak bisa menerima ketentuan ini dan menentukan syarat kesinambungan (mutawatir), penyampaian dan integritas (tsiqat) setiap perawi hadits sebagai landasan kedua penentuan kualitas sumber hukum kedua dalam Islam bagi penentuan hukum syari’ah. Sebagai konsekuensi sumber hukum ketiga bagi hukum Islam, ijma atau konsensus juga berbeda pula dalam pengertiannya.

Bagi kaum Syiah, ijma’ tidak lain adalah konsensus para imam mereka, sedangkan bagi kaum Sunni ijma’ berarti konsensus para sahabat. Hal ini meruncing pada sumber hukum keempat yaitu ijtihad, juga punya pengertian lain. Bagi kaum Syiah ijtihad hanya mungkin dilakukan oleh ayatullah yang berkaliber marja’i taqlid, sedangkan bagi kaum Sunni, ijtihad bisa dilakukan oleh siapa saja yang memenuhi persyaratan mujtahid, bagaimanapun beratnya.

Perbedaan rumusan religius ini kemudian makin meruncing pada konflik politik sejak akhir pemerintahan khulafaur rasyidin. Pangkal konflik adalah menentukan siapa pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib, apakah Hasan cucunda Rasulullah Saw, atau Mu’awiyyah keluarga Utsman bin Affan. Lalu siapakah yang berhak menggantikan Mu’awiyyah, apakah Yazid putra Mu’awiyyah atau Husein cucunda kedua Rasulullah Saw. Kematian Husein yang mengenaskan di Karbala adalah tragedi umat Islam yang berdampak paling luas. Karena itu, kemudian muncul aqidah Syiah tentang taqiyah yang membolehkan penganutnya untuk menyembunyikan keyakinannya dalam keadaan darurat, dan diterapkan juga dengan sesama muslim.

Demikian juga dengan aqidah raj’ah yang dianggap menghina sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, yang merupakan reaksi emosional terhadap kewajiban mengutuk Ali bin Abi Thalib dalam khutbah-khutbah Jum’at selama pemerintahan daulah Ummayah. Warisan sejarah ini menyebabkan kaum Syiah banyak mencari alternatif dalam kondisi minoritasnya. Pilihan politik ini semakin mendongkolkan kaum Sunni dan menuduh kelompok Syiah sebagai sempalan Islam.

Sementara ini, kondisi politik dunia yang semakin mengglobal menyebabkan konfrontasi Sunni-Syiah semakin terbuka. Rekonsiliasi yang dilakukan Syiah ternyata tidak banyak membuahkan hasil signifikan. Hal ini karena konflik yang muncul tidak hanya karena perbedaan yang mendalam antara Sunni-Syiah, tetapi juga ada campur tangan pihak diluar Islam yang sengaja memanfaatkan kekeruhan, dan sentimen emosional agama. Amerika yang sudah sejak lama dekat dengan otoritas Sunni yang konserfatif di Saudi Arabia menggunakan legitimasi agama untuk terus menebar kebencian dengan Syiah. Propaganda ini dimanfaatkan betul dengan banyaknya pembantaian warga Sunni di Suriah. Otoritas pemerintahan Syiah di Suriah terus menerus menggempur basis Sunni di Allepo. Sentimen anti Syiah akhirnya menguat diseluruh negara Islam yang masyoritas Sunni, tak terkecuali di Indonesia.

kemampuan agama (masyarakat agama) juga harus dikembangkan dalam bentuk yang lebih unggul dengan tidak lagi mengganggap kelompok diri lebih unggul. Sikap eksklusifisme ini seringkali menjadi problem dalam mengembangkan masyarakat yang lebih maju. Yang harus terus kita kembangkan adalah menjadi komunikasi yang lebih intens antar berbagai kelompok agama di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya membangun komunikasi, dan dilanjutkan dengan dialog yang membahas masalah yang lebih substansial akan mengurangi keterbelahan Sunni-Syiah.

Dialog gagasan-gagasan yang bersifat kebangsaan sebenarnya sudah mencoba diletakkan lewat perdebatan yang dilakukan oleh para founding fathers kita. Debat antara Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang landasan keindonesiaan yang lebih akademis. Perdebatan dalam sidang BPUPKI dan PPKI antara golongan agama dan golongan nasionalisme. Perdebatan ini dimaksudnya untuk menemukan identitas keindonesiaan tanpa meninggalkan identitas kelompok kita.

Harus diakui bahwa sampai sekarang sebenarnya kita belum mempunyai kiat-kiat pengaturan kehidupan keberagamaan kita yang sangat majemuk. Pada tataran idelogis dasar komunikasi itu sudah ada. Namun dalam wilayah politik, apalagi menyangkut otoritas penguasa, yang tiap kelompok menganggap penting bahwa memegang kekuasaan adalah keharusan menjadi semakin susah untuk menemukan dialog. Pada tataran inilah, konflik sangat rentan terjadi dan bersifat laten.

Selain dialog, kesejahteraan masyarakat Islam di Indonesia juga harus ditingkatkan. Karena jika sudah sejahtera, orang seringkali memilih untuk hidup dalam perdamaian. Kekuatan dan kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan harus diutamakan, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad, ”kalau kita ingin dicintai oleh Allah, maka setiap muslim haruslah menjadi manusia yang kuat” – kuat dalam artian iman dan taqwanya, kuat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, kuat secara ekonomi, kuat secara jasmani dan mental spiritualnya, serta dalam budaya dan politiknya. Tidak pernah ada masyarakat dhuafa (the haves not) didunia ini yang mampu meraih kekuasaan sosial dan politik. Masyarakat dhuafa akan selalu merupakan masyarakat kelas bawah yang dengan mudah ditindas dan dimarjinalkan menjadi kaum mustadha’afin yang tidak berdaya. Senada dengan pernyaatan diatas maka, kelahiran Islam harus dipahami sebagai bentuk protes terhadap sistem kehidupan umat manusia di dunia, dan sebagai bentuk perlawanan terhadap masyarakat dengan barbagai gaya hidupnya, dalam wilayah yang seperti inilah dimensi revolusioner dan kritis dari agama (Islam) terlihat sangat jelas. Kelahiran Islam dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap adanya imperialsme dan kolonialisme dan penindasan oleh kaum-kaum yang menginginkan adanya kehancuran ummat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, dan melawan ketimpangan strata sosial yang tidak seimbang ditengah-tengah masyarakat

Kelompok XI
Khaerul Reski
Sultan 
Jurusan Ilmu Politik 
UIN Alauddin Makassar

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes