Perayaan
Lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan
Omben, Sampang, kemarin, berubah menjadi horor. Kejadian penyerangan pada
Desember 2011 terulang. Satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan
puluhan rumah terbakar akibat penyerangan, Minggu, 26 Agustus 2012. Korban tewas diketahui bernama Hamamah, 45
tahun. Dia meninggal akibat sabetan senjata tajam dari kelompok penyerang.
Sedangkan korban kritis bernama Tohir, Mat Siri, Abdul Wafi, dan ibunda ustad
Tajul Muluk. “Padahal ibunda ustad Tajul bukan penganut Syiah," kata Zain,
anak salah seorang korban kritis, Tohir. Tajul Muluk adalah pemimpin Syiah di
Nangkernang yang kini mendekam di penjara setelah divonis dua tahun bui karena
penodaan agama.
Adapun
korban kritis akibat sabetan senjata tajam dan lemparan batu. Kini mereka
tengah dirawat di RSUD Sampang dan mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian.
"Untuk yang luka ringan, saya tidak tahu mereka dirawat atau tidak,"
kata Zain kepada Tempo. Zain,
yang merupakan pengajar di pesantren Syiah, menuturkan bahwa penyerangan
terjadi mulai pukul 08.00. Saat itu, sebagian besar warga Syiah sedang
merayakan Lebaran ketupat. Tiba-tiba, dari arah sebelah timur yang tertutupi
perbukitan, muncul ratusan orang. Mereka menyebar dengan berjalan melintasi
persawahan sambil mengacungkan celurit dan berteriak. "Sekarang bukan
hanya rumahnya, tapi orangnya juga harus habis," tutur Zain, menirukan
teriakan itu.
Melihat
itu, Zain bersama beberapa warga Syiah, termasuk korban tewas, bersembunyi di
salah satu bagian rumah Tajul Muluk, yang selamat dari amuk massa dalam
penyerangan sebelumnya. "Mereka tidak langsung duel, tapi melempari kami
dulu dengan batu," kata Zain. Akibat
lemparan batu itu, sejumlah orang Syiah mengalami cedera. Salah satunya
Hamamah, yang akhirnya tewas dibantai. "Kami sembunyi dalam sungai, kami
selamat setelah polisi datang," tutur Zain.
Meski
selamat, Zain mengaku kecewa terhadap aparat kepolisian karena baru tiba di
lokasi pukul 15.00 atau delapan jam setelah penyerangan. "Semua rumah
jemaah Syiah dibakar pakai bensin, sekitar 50 rumah, termasuk rumah saya,"
katanya.
Kepala
Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Hilman Thayib
memastikan korban tewas akibat kerusuhan Sampang berjumlah satu orang. Hilman
menuturkan kronologi yang berbeda dengan Zain. Menurut Hilman, awalnya,
sebanyak 20 anak warga Syiah yang menumpang minibus dihadang 30 sepeda motor.
Mereka kemudian dipaksa pulang dan dilarang belajar di pesantren Syiah yang ada
di luar Sampang. "Saat itu, terjadi
keributan dan perkelahian hingga menimbulkan satu korban meninggal bernama
Hamamah," kata Hilman.
Pasca-penyerangan,
polisi menerjunkan ratusan personel di lokasi kejadian dan dibantu personel
dari Komando Distrik Militer setempat. Seluruh warga Syiah juga diungsikan ke
Gelanggang Olahraga Sampang. Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) telah
mengusut kasus penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang Madura, pada 26
Agustus 2012. TTR terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Andy Yentriyani, komisioner Komnas
Perempuan mengatakan, dalam pengusutan kasus, TTR mendapatkan 14 butir
kesimpulan dari temuan penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang Madura.
"Ke-14
temuan terkait konflik, perempuan dan konflik, anak dan konflik, pelanggaran
HAM, peran dan posisi negara, serta tentang konsekuensi kekerasan dan
penyikapannya," kata Andy di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin
(26/8/2013). Andy menjelaskan, konflik
antara penganut Syiah dan Sunni di Sampang bersifat kompleks, multiras, dan
multidimensional. Menurutnya, faktor sosio-kultural, agama, ekonomi, dan
politik, turut mendorong terjadinya konflik. "Lemahnya penegakan hukum dalam konteks pemenuhan
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan," ujarnya.
Mengenai
perempuan dan konflik, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan jadi
bagian integral dalam peristiwa intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama.
Perempuan menjadi korban langsung dan tak langsung saat serangan. TTR juga menemukan anak dari kedua pihak
menjadi korban, sehingga pendampingan termasuk pemulihan perlu dilakukan kepada
kedua kelompok anak tersebut. Menurutnya, upaya perlindungan anak belum
bersifat substansif, baik perlindungan khusus untuk anak-anak di pengungsian,
maupun anak-anak di wilayah Sampang. "Dalam
konflik di Sampang, ada hak-hak asasi yang dilanggar meski dijamin dalam UUD
1945,"
Negara
dalam konflik tersebut belum mampu memastikan pemenuhan hak konstitusional.
Negara juga belum mampu menyentuh akar konflik tersebut. Dalam konflik Sampang, pemerintah daerah
dan aparat keamanan justru memerlihatkan keberpihakan pada kehendak kelompok
mayoritas. Dalam kasus itu terjadi kriminilisasi warga negara atas dasar agama
dan keyakinan sesuai hati nuraninya, dengan dakwaan penodaan agama.TTR
menemukan vonis rendah bagi para pelaku serangan, bahkan vonis bebas terhadap Rois
Al Hukana membuktikan negara gagal memberikan perlindungan HAM. Jaksa penuntut
umum dan majelis hakim tidak mengusut fakta persidangan terhadap pelaku,
sehingga tidak ada putusan hakim yang mengatur tentang ganti rugi materiil atas
harta benda korban. Negara mengokohkan akar
konflik, sehingga potensial memicu konflik ke wilayah lain. "Negara, yaitu
Kementerian Agama bersama Pemkab Sampang, melakukan pemaksaan pindah keyakinan
melalui 'pembinaan' bagi penganut Syiah,"
Para
penduduk yang sejak awal memang tidak mempersiapkan diri untuk bertarung
akhirnya terdesak. Terpaksa mereka mundur ke perkampungan, menghindar serangan
warga Syiah. Dalam situasi terdesak, ada sebagian penduduk menggunakan pengeras
suara milik Masjid. Dari speaker disampaikan
kesediaan masyarakat sekitar untuk membantuk menghadapi serangan pengikut Tajul
Muluk. Gayung pun bersambut. Terjadilah saling serang antar dua kubu”. Dari laporan tersebut, sesungguhnya ada
pelanggaran kesepakatan dari pihak Syiah. Jika saja, pengikut Tajul Muluk memenuhi
kesepakatan dan menerima persyaratan damai dengan cara tidak akan menyebarkan
ajaran pelecehan, pasti tidak akan terjadi bentrok. Dari hasil kajian, beberapa pihak terkait melakukan
upaya-upaya penyelesaian. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah aliran
Syiah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa
bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara
Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang
Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan
untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu
chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika
beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain
bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan
tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat
yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri
Nabi dan lain-lain. Berdasarkan hal itu,
Pemkot Sampang pun berjanji membiayai anak-anak Syiah untuk mengirim ke pondok
pesantren Ahlus Sunnah. Pencegahan dini harus dilakukan. Sebab, jika anak-anak
tersebut dibiarkan jadi menganut ajaran penistaan terhadap Sahabat, maka
Sampang akan terus membara lagi kelak. Upaya-upaya
aparatur pemerintah, ulama dan pihak keamanan harus didukung. Solusi mereka
menyentuh akar utama penyebab konflik. Bahwa, penistaan terhadap Sahabat dan
Istri Nabi yang dilakukan secara publik yang menjadi sebab bentrok. Menutupi
akar utama, apalagi memotongnya justru akan memelihara konflik menjadi lebih
besar lagi.Yang harus kita cerna baik-baik, bahwa kekerasan membabi buta adalah
kriminil tapi bukan berarti Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap
penistaan agama. Terhadap aliran sesat, Islam memiliki aturan yang adil. Memang
ada perintah bersikap ramah namun diperintah pula bersikap tegas. Maka dapat
disimpulkan bahwa ajaran pelecehan terhadap kesucian agama-lah yang
sesungguhnya memicu konflik sosial. Ajaran seperti ini jika dibiarkan
memperkeruh keamanan masyarakat, karena penodaan agama hakikatnya melanggar Hak
Asasi Manusia. Pelecehan terhadap agama hakikatnya pelecehan terhadap hak
manusia. Sebab, hak manusia yang paling asasi adalah hak untuk menjaga
agamanya. Jika kesucian agama dihujat, maka telah terjadi pelanggaran hak asasi
yang berat. Pelecehan agama bukan domain toleransi lagi, sebab toleransi adalah
menghormati tanpa mencaci-maki. Jika konsep toleransi ‘dibumbui’ caci maki
Shahabat, maka ini toleransi yang ilusi alias rancu. "Beda keyakinan
seakan-akan jadi latar belakang, padahal sebetulnya bukan begitu,"
ujarnya, seraya berharap agar publik tidak terlena dengan mengaitkan kasus kekerasan
itu dengan soal agama. Dia menegaskan, agama kerap hanya dimanfaatkan untuk
memompa emosi masyarakat. Sebab, isu agama merupakan instrumen paling mudah
untuk memobilisasi sentimen massa. Klaim 'sesat' yang disematkan pada aliran
syiah, lanjut Muzakki, itu dipakai sebagai amunisi untuk menggeret isu beda
kepentingan sosial politik tersebut ke isu agama.
Muzakki melihat, momen pertarungan kuasa politik lokal, terutama menghadapi Pilkada akhir tahun ini, tampaknya semakin memperkeras beda kepentingan sosial dan politik keluarga yang kebetulan masing-masing punya massa besar. "Apalagi ada event politik. Pengerasan itu lalu mempertemukan berbagai kepentingan itu dalam titik yang sama," tandasnya.
"Kegamangan aparat menambah ruwetnya kongsi politik di balik kerusuhan itu," imbuhnya. Problem kekerasan di Sampang itu memang dinilai cukup ruwet. Namun, Muzakki berharap agar pemerintah membawa kasus itu ke persoalan hukum pidana, bukan ke persoalan agama.
Muzakki melihat, momen pertarungan kuasa politik lokal, terutama menghadapi Pilkada akhir tahun ini, tampaknya semakin memperkeras beda kepentingan sosial dan politik keluarga yang kebetulan masing-masing punya massa besar. "Apalagi ada event politik. Pengerasan itu lalu mempertemukan berbagai kepentingan itu dalam titik yang sama," tandasnya.
"Kegamangan aparat menambah ruwetnya kongsi politik di balik kerusuhan itu," imbuhnya. Problem kekerasan di Sampang itu memang dinilai cukup ruwet. Namun, Muzakki berharap agar pemerintah membawa kasus itu ke persoalan hukum pidana, bukan ke persoalan agama.
Keterbelahan,
konflik ini menyebabkan beberapa kebijakan yang diskriminatif walaupun tidak
sampai pada pengkafiran. Artinya kelompok Syiah masih dianggap sebagai muslim,
bahwa antara Sunni-Syiah berada dalam satu agama. Kebijakan diskriminatif dalam
agama ini antara lain orang-orang Syiah masih diijinkan untuk melakukan ibadah
haji di tanah suci Makkah dengan membatasi jumlah jama’ah secara ketat. Hal ini
karena radikalisme politik Iran telah menyebabkan penguasa konserfatif Sunni di
Saudi Arabia harus bertindak tegas.
Usaha
perdamaian memang selalu dimotori oleh otoritas Syiah Iran. Namun sebaliknya
tampak tak berkurang dan mungkin takkan pernah berkurang kecurigaan kalangan
Sunni kepada Syiah. Masing-masing memiliki kutub yang diametral antara
Sunni-Syiah sehingga komunikasi selalu berujung pada bentuk sentimen dan
emosionalisme. Kecintaan yang besar kalangan Syiah terhadap ahlul bait
mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa dari kalangan Sunni kepada
para sahabat Rasulullah. Perbedaan sentimentil ini telah menyebabkan konflik
mendasar dalam penentuan hukum kedua dalam Islam yaitu hadits. Kelompok Syiah
menganggap ucapan atau kabar dari ahlul bait dan para imam mereka sebagai
sumber hukum kedua Islam lebih terjamin karena keyakinan Syiah tentang ‘ishmah atau
kemaksuman para imam. Sedangkan, kaum Sunni tentunya tak bisa menerima
ketentuan ini dan menentukan syarat kesinambungan (mutawatir),
penyampaian dan integritas (tsiqat) setiap perawi hadits sebagai
landasan kedua penentuan kualitas sumber hukum kedua dalam Islam bagi penentuan
hukum syari’ah. Sebagai konsekuensi sumber hukum ketiga bagi hukum Islam, ijma
atau konsensus juga berbeda pula dalam pengertiannya.
Bagi
kaum Syiah, ijma’ tidak lain adalah konsensus para imam mereka, sedangkan bagi
kaum Sunni ijma’ berarti konsensus para sahabat. Hal ini meruncing pada sumber
hukum keempat yaitu ijtihad, juga punya pengertian lain. Bagi kaum Syiah
ijtihad hanya mungkin dilakukan oleh ayatullah yang berkaliber marja’i
taqlid, sedangkan bagi kaum Sunni, ijtihad bisa dilakukan oleh siapa saja
yang memenuhi persyaratan mujtahid, bagaimanapun beratnya.
Perbedaan
rumusan religius ini kemudian makin meruncing pada konflik politik sejak akhir
pemerintahan khulafaur rasyidin. Pangkal konflik adalah menentukan siapa
pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib, apakah Hasan cucunda Rasulullah Saw,
atau Mu’awiyyah keluarga Utsman bin Affan. Lalu siapakah yang berhak
menggantikan Mu’awiyyah, apakah Yazid putra Mu’awiyyah atau Husein cucunda
kedua Rasulullah Saw. Kematian Husein yang mengenaskan di Karbala adalah
tragedi umat Islam yang berdampak paling luas. Karena itu, kemudian muncul
aqidah Syiah tentang taqiyah yang membolehkan penganutnya
untuk menyembunyikan keyakinannya dalam keadaan darurat, dan diterapkan juga
dengan sesama muslim.
Demikian
juga dengan aqidah raj’ah yang dianggap menghina sahabat Abu
Bakar dan Umar bin Khattab, yang merupakan reaksi emosional terhadap kewajiban
mengutuk Ali bin Abi Thalib dalam khutbah-khutbah Jum’at selama pemerintahan
daulah Ummayah. Warisan sejarah ini menyebabkan kaum Syiah banyak mencari
alternatif dalam kondisi minoritasnya. Pilihan politik ini semakin
mendongkolkan kaum Sunni dan menuduh kelompok Syiah sebagai sempalan Islam.
Sementara
ini, kondisi politik dunia yang semakin mengglobal menyebabkan konfrontasi
Sunni-Syiah semakin terbuka. Rekonsiliasi yang dilakukan Syiah ternyata tidak
banyak membuahkan hasil signifikan. Hal ini karena konflik yang muncul tidak
hanya karena perbedaan yang mendalam antara Sunni-Syiah, tetapi juga ada campur
tangan pihak diluar Islam yang sengaja memanfaatkan kekeruhan, dan sentimen
emosional agama. Amerika yang sudah sejak lama dekat dengan otoritas Sunni yang
konserfatif di Saudi Arabia menggunakan legitimasi agama untuk terus menebar
kebencian dengan Syiah. Propaganda ini dimanfaatkan betul dengan banyaknya
pembantaian warga Sunni di Suriah. Otoritas pemerintahan Syiah di Suriah terus
menerus menggempur basis Sunni di Allepo. Sentimen anti Syiah akhirnya menguat
diseluruh negara Islam yang masyoritas Sunni, tak terkecuali di Indonesia.
kemampuan
agama (masyarakat agama) juga harus dikembangkan dalam bentuk yang lebih unggul
dengan tidak lagi mengganggap kelompok diri lebih unggul. Sikap eksklusifisme
ini seringkali menjadi problem dalam mengembangkan masyarakat yang lebih maju.
Yang harus terus kita kembangkan adalah menjadi komunikasi yang lebih intens
antar berbagai kelompok agama di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya membangun
komunikasi, dan dilanjutkan dengan dialog yang membahas masalah yang lebih
substansial akan mengurangi keterbelahan Sunni-Syiah.
Dialog
gagasan-gagasan yang bersifat kebangsaan sebenarnya sudah mencoba diletakkan
lewat perdebatan yang dilakukan oleh para founding fathers kita.
Debat antara Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang landasan keindonesiaan
yang lebih akademis. Perdebatan dalam sidang BPUPKI dan PPKI antara golongan
agama dan golongan nasionalisme. Perdebatan ini dimaksudnya untuk menemukan
identitas keindonesiaan tanpa meninggalkan identitas kelompok kita.
Harus
diakui bahwa sampai sekarang sebenarnya kita belum mempunyai kiat-kiat
pengaturan kehidupan keberagamaan kita yang sangat majemuk. Pada tataran
idelogis dasar komunikasi itu sudah ada. Namun dalam wilayah politik, apalagi
menyangkut otoritas penguasa, yang tiap kelompok menganggap penting bahwa
memegang kekuasaan adalah keharusan menjadi semakin susah untuk menemukan
dialog. Pada tataran inilah, konflik sangat rentan terjadi dan bersifat laten.
Selain
dialog, kesejahteraan masyarakat Islam di Indonesia juga harus ditingkatkan.
Karena jika sudah sejahtera, orang seringkali memilih untuk hidup dalam
perdamaian. Kekuatan dan kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan harus
diutamakan, sebagaimana
yang disabdakan Nabi Muhammad, ”kalau kita ingin dicintai oleh Allah,
maka setiap muslim haruslah menjadi manusia yang kuat” – kuat dalam
artian iman dan taqwanya, kuat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi, kuat secara ekonomi, kuat secara jasmani dan mental spiritualnya,
serta dalam budaya dan politiknya. Tidak pernah ada masyarakat dhuafa (the
haves not) didunia ini yang mampu meraih kekuasaan sosial dan politik.
Masyarakat dhuafa akan selalu merupakan masyarakat kelas bawah
yang dengan mudah ditindas dan dimarjinalkan menjadi kaum mustadha’afin yang
tidak berdaya. Senada dengan pernyaatan diatas
maka, kelahiran Islam harus dipahami sebagai bentuk protes terhadap sistem
kehidupan umat manusia di dunia, dan sebagai bentuk perlawanan terhadap
masyarakat dengan barbagai gaya hidupnya, dalam wilayah yang seperti inilah
dimensi revolusioner dan kritis dari agama (Islam) terlihat sangat jelas.
Kelahiran Islam dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap adanya imperialsme
dan kolonialisme dan penindasan oleh kaum-kaum yang menginginkan adanya
kehancuran ummat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, dan
melawan ketimpangan strata sosial yang tidak seimbang ditengah-tengah
masyarakat
Kelompok XI
Khaerul Reski
Sultan
Jurusan Ilmu Politik
UIN Alauddin Makassar