Selasa, 23 Desember 2014

Konflik Sunni dan Syiah di Sampang




Perayaan Lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang, kemarin, berubah menjadi horor. Kejadian penyerangan pada Desember 2011 terulang. Satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar akibat penyerangan, Minggu, 26 Agustus 2012. Korban tewas diketahui bernama Hamamah, 45 tahun. Dia meninggal akibat sabetan senjata tajam dari kelompok penyerang. Sedangkan korban kritis bernama Tohir, Mat Siri, Abdul Wafi, dan ibunda ustad Tajul Muluk. “Padahal ibunda ustad Tajul bukan penganut Syiah," kata Zain, anak salah seorang korban kritis, Tohir. Tajul Muluk adalah pemimpin Syiah di Nangkernang yang kini mendekam di penjara setelah divonis dua tahun bui karena penodaan agama.
Adapun korban kritis akibat sabetan senjata tajam dan lemparan batu. Kini mereka tengah dirawat di RSUD Sampang dan mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. "Untuk yang luka ringan, saya tidak tahu mereka dirawat atau tidak," kata Zain kepada Tempo. Zain, yang merupakan pengajar di pesantren Syiah, menuturkan bahwa penyerangan terjadi mulai pukul 08.00. Saat itu, sebagian besar warga Syiah sedang merayakan Lebaran ketupat. Tiba-tiba, dari arah sebelah timur yang tertutupi perbukitan, muncul ratusan orang. Mereka menyebar dengan berjalan melintasi persawahan sambil mengacungkan celurit dan berteriak. "Sekarang bukan hanya rumahnya, tapi orangnya juga harus habis," tutur Zain, menirukan teriakan itu.
Melihat itu, Zain bersama beberapa warga Syiah, termasuk korban tewas, bersembunyi di salah satu bagian rumah Tajul Muluk, yang selamat dari amuk massa dalam penyerangan sebelumnya. "Mereka tidak langsung duel, tapi melempari kami dulu dengan batu," kata Zain. Akibat lemparan batu itu, sejumlah orang Syiah mengalami cedera. Salah satunya Hamamah, yang akhirnya tewas dibantai. "Kami sembunyi dalam sungai, kami selamat setelah polisi datang," tutur Zain.
Meski selamat, Zain mengaku kecewa terhadap aparat kepolisian karena baru tiba di lokasi pukul 15.00 atau delapan jam setelah penyerangan. "Semua rumah jemaah Syiah dibakar pakai bensin, sekitar 50 rumah, termasuk rumah saya," katanya.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Hilman Thayib memastikan korban tewas akibat kerusuhan Sampang berjumlah satu orang. Hilman menuturkan kronologi yang berbeda dengan Zain. Menurut Hilman, awalnya, sebanyak 20 anak warga Syiah yang menumpang minibus dihadang 30 sepeda motor. Mereka kemudian dipaksa pulang dan dilarang belajar di pesantren Syiah yang ada di luar Sampang. "Saat itu, terjadi keributan dan perkelahian hingga menimbulkan satu korban meninggal bernama Hamamah," kata Hilman.
Pasca-penyerangan, polisi menerjunkan ratusan personel di lokasi kejadian dan dibantu personel dari Komando Distrik Militer setempat. Seluruh warga Syiah juga diungsikan ke Gelanggang Olahraga Sampang. Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) telah mengusut kasus penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang Madura, pada 26 Agustus 2012. TTR terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Andy Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan mengatakan, dalam pengusutan kasus, TTR mendapatkan 14 butir kesimpulan dari temuan penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang Madura.
"Ke-14 temuan terkait konflik, perempuan dan konflik, anak dan konflik, pelanggaran HAM, peran dan posisi negara, serta tentang konsekuensi kekerasan dan penyikapannya," kata Andy di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (26/8/2013). Andy menjelaskan, konflik antara penganut Syiah dan Sunni di Sampang bersifat kompleks, multiras, dan multidimensional. Menurutnya, faktor sosio-kultural, agama, ekonomi, dan politik, turut mendorong terjadinya konflik. "Lemahnya penegakan hukum dalam konteks pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan," ujarnya.
Mengenai perempuan dan konflik, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan jadi bagian integral dalam peristiwa intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama. Perempuan menjadi korban langsung dan tak langsung saat serangan. TTR juga menemukan anak dari kedua pihak menjadi korban, sehingga pendampingan termasuk pemulihan perlu dilakukan kepada kedua kelompok anak tersebut. Menurutnya, upaya perlindungan anak belum bersifat substansif, baik perlindungan khusus untuk anak-anak di pengungsian, maupun anak-anak di wilayah Sampang. "Dalam konflik di Sampang, ada hak-hak asasi yang dilanggar meski dijamin dalam UUD 1945,"
Negara dalam konflik tersebut belum mampu memastikan pemenuhan hak konstitusional. Negara juga belum mampu menyentuh akar konflik tersebut. Dalam konflik Sampang, pemerintah daerah dan aparat keamanan justru memerlihatkan keberpihakan pada kehendak kelompok mayoritas. Dalam kasus itu terjadi kriminilisasi warga negara atas dasar agama dan keyakinan sesuai hati nuraninya, dengan dakwaan penodaan agama.TTR menemukan vonis rendah bagi para pelaku serangan, bahkan vonis bebas terhadap Rois Al Hukana membuktikan negara gagal memberikan perlindungan HAM. Jaksa penuntut umum dan majelis hakim tidak mengusut fakta persidangan terhadap pelaku, sehingga tidak ada putusan hakim yang mengatur tentang ganti rugi materiil atas harta benda korban. Negara mengokohkan akar konflik, sehingga potensial memicu konflik ke wilayah lain. "Negara, yaitu Kementerian Agama bersama Pemkab Sampang, melakukan pemaksaan pindah keyakinan melalui 'pembinaan' bagi penganut Syiah,"
Para penduduk yang sejak awal memang tidak mempersiapkan diri untuk bertarung akhirnya terdesak. Terpaksa mereka mundur ke perkampungan, menghindar serangan warga Syiah. Dalam situasi terdesak, ada sebagian penduduk menggunakan pengeras suara milik Masjid. Dari speaker disampaikan kesediaan masyarakat sekitar untuk membantuk menghadapi serangan pengikut Tajul Muluk. Gayung pun bersambut. Terjadilah saling serang antar dua kubu”. Dari laporan tersebut, sesungguhnya ada pelanggaran kesepakatan dari pihak Syiah. Jika saja, pengikut Tajul Muluk memenuhi kesepakatan dan menerima persyaratan damai dengan cara tidak akan menyebarkan ajaran pelecehan, pasti tidak akan terjadi bentrok. Dari hasil kajian, beberapa pihak terkait melakukan upaya-upaya penyelesaian. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah aliran Syiah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain. Berdasarkan hal itu, Pemkot Sampang pun berjanji membiayai anak-anak Syiah untuk mengirim ke pondok pesantren Ahlus Sunnah. Pencegahan dini harus dilakukan. Sebab, jika anak-anak tersebut dibiarkan jadi menganut ajaran penistaan terhadap Sahabat, maka Sampang akan terus membara lagi kelak. Upaya-upaya aparatur pemerintah, ulama dan pihak keamanan harus didukung. Solusi mereka menyentuh akar utama penyebab konflik. Bahwa, penistaan terhadap Sahabat dan Istri Nabi yang dilakukan secara publik yang menjadi sebab bentrok. Menutupi akar utama, apalagi memotongnya justru akan memelihara konflik menjadi lebih besar lagi.Yang harus kita cerna baik-baik, bahwa kekerasan membabi buta adalah kriminil tapi bukan berarti Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap  penistaan agama. Terhadap aliran sesat, Islam memiliki aturan yang adil. Memang ada perintah bersikap ramah namun diperintah pula bersikap tegas. Maka dapat disimpulkan bahwa ajaran pelecehan terhadap kesucian agama-lah yang sesungguhnya memicu konflik sosial. Ajaran seperti ini jika dibiarkan memperkeruh keamanan masyarakat, karena penodaan agama hakikatnya melanggar Hak Asasi Manusia. Pelecehan terhadap agama hakikatnya pelecehan terhadap hak manusia. Sebab, hak manusia yang paling asasi adalah hak untuk menjaga agamanya. Jika kesucian agama dihujat, maka telah terjadi pelanggaran hak asasi yang berat. Pelecehan agama bukan domain toleransi lagi, sebab toleransi adalah menghormati tanpa mencaci-maki. Jika konsep toleransi ‘dibumbui’ caci maki Shahabat, maka ini toleransi yang ilusi alias rancu. "Beda keyakinan seakan-akan jadi latar belakang, padahal sebetulnya bukan begitu," ujarnya, seraya berharap agar publik tidak terlena dengan mengaitkan kasus kekerasan itu dengan soal agama. Dia menegaskan, agama kerap hanya dimanfaatkan untuk memompa emosi masyarakat. Sebab, isu agama merupakan instrumen paling mudah untuk memobilisasi sentimen massa. Klaim 'sesat' yang disematkan pada aliran syiah, lanjut Muzakki, itu dipakai sebagai amunisi untuk menggeret isu beda kepentingan sosial politik tersebut ke isu agama.
Muzakki melihat, momen pertarungan kuasa politik lokal, terutama menghadapi Pilkada akhir tahun ini, tampaknya semakin memperkeras beda kepentingan sosial dan politik keluarga yang kebetulan masing-masing punya massa besar. "Apalagi ada event politik. Pengerasan itu lalu mempertemukan berbagai kepentingan itu dalam titik yang sama," tandasnya.
"Kegamangan aparat menambah ruwetnya kongsi politik di balik kerusuhan itu," imbuhnya. Problem kekerasan di Sampang itu memang dinilai cukup ruwet. Namun, Muzakki berharap agar pemerintah membawa kasus itu ke persoalan hukum pidana, bukan ke persoalan agama.

Keterbelahan, konflik ini menyebabkan beberapa kebijakan yang diskriminatif walaupun tidak sampai pada pengkafiran. Artinya kelompok Syiah masih dianggap sebagai muslim, bahwa antara Sunni-Syiah berada dalam satu agama. Kebijakan diskriminatif dalam agama ini antara lain orang-orang Syiah masih diijinkan untuk melakukan ibadah haji di tanah suci Makkah dengan membatasi jumlah jama’ah secara ketat. Hal ini karena radikalisme politik Iran telah menyebabkan penguasa konserfatif Sunni di Saudi Arabia harus bertindak tegas.

Usaha perdamaian memang selalu dimotori oleh otoritas Syiah Iran. Namun sebaliknya tampak tak berkurang dan mungkin takkan pernah berkurang kecurigaan kalangan Sunni kepada Syiah. Masing-masing memiliki kutub yang diametral antara Sunni-Syiah sehingga komunikasi selalu berujung pada bentuk sentimen dan emosionalisme. Kecintaan yang besar kalangan Syiah terhadap ahlul bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa dari kalangan Sunni kepada para sahabat Rasulullah. Perbedaan sentimentil ini telah menyebabkan konflik mendasar dalam penentuan hukum kedua dalam Islam yaitu hadits. Kelompok Syiah menganggap ucapan atau kabar dari ahlul bait dan para imam mereka sebagai sumber hukum kedua Islam lebih terjamin karena keyakinan Syiah tentang ‘ishmah atau kemaksuman para imam. Sedangkan, kaum Sunni tentunya tak bisa menerima ketentuan ini dan menentukan syarat kesinambungan (mutawatir), penyampaian dan integritas (tsiqat) setiap perawi hadits sebagai landasan kedua penentuan kualitas sumber hukum kedua dalam Islam bagi penentuan hukum syari’ah. Sebagai konsekuensi sumber hukum ketiga bagi hukum Islam, ijma atau konsensus juga berbeda pula dalam pengertiannya.

Bagi kaum Syiah, ijma’ tidak lain adalah konsensus para imam mereka, sedangkan bagi kaum Sunni ijma’ berarti konsensus para sahabat. Hal ini meruncing pada sumber hukum keempat yaitu ijtihad, juga punya pengertian lain. Bagi kaum Syiah ijtihad hanya mungkin dilakukan oleh ayatullah yang berkaliber marja’i taqlid, sedangkan bagi kaum Sunni, ijtihad bisa dilakukan oleh siapa saja yang memenuhi persyaratan mujtahid, bagaimanapun beratnya.

Perbedaan rumusan religius ini kemudian makin meruncing pada konflik politik sejak akhir pemerintahan khulafaur rasyidin. Pangkal konflik adalah menentukan siapa pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib, apakah Hasan cucunda Rasulullah Saw, atau Mu’awiyyah keluarga Utsman bin Affan. Lalu siapakah yang berhak menggantikan Mu’awiyyah, apakah Yazid putra Mu’awiyyah atau Husein cucunda kedua Rasulullah Saw. Kematian Husein yang mengenaskan di Karbala adalah tragedi umat Islam yang berdampak paling luas. Karena itu, kemudian muncul aqidah Syiah tentang taqiyah yang membolehkan penganutnya untuk menyembunyikan keyakinannya dalam keadaan darurat, dan diterapkan juga dengan sesama muslim.

Demikian juga dengan aqidah raj’ah yang dianggap menghina sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, yang merupakan reaksi emosional terhadap kewajiban mengutuk Ali bin Abi Thalib dalam khutbah-khutbah Jum’at selama pemerintahan daulah Ummayah. Warisan sejarah ini menyebabkan kaum Syiah banyak mencari alternatif dalam kondisi minoritasnya. Pilihan politik ini semakin mendongkolkan kaum Sunni dan menuduh kelompok Syiah sebagai sempalan Islam.

Sementara ini, kondisi politik dunia yang semakin mengglobal menyebabkan konfrontasi Sunni-Syiah semakin terbuka. Rekonsiliasi yang dilakukan Syiah ternyata tidak banyak membuahkan hasil signifikan. Hal ini karena konflik yang muncul tidak hanya karena perbedaan yang mendalam antara Sunni-Syiah, tetapi juga ada campur tangan pihak diluar Islam yang sengaja memanfaatkan kekeruhan, dan sentimen emosional agama. Amerika yang sudah sejak lama dekat dengan otoritas Sunni yang konserfatif di Saudi Arabia menggunakan legitimasi agama untuk terus menebar kebencian dengan Syiah. Propaganda ini dimanfaatkan betul dengan banyaknya pembantaian warga Sunni di Suriah. Otoritas pemerintahan Syiah di Suriah terus menerus menggempur basis Sunni di Allepo. Sentimen anti Syiah akhirnya menguat diseluruh negara Islam yang masyoritas Sunni, tak terkecuali di Indonesia.

kemampuan agama (masyarakat agama) juga harus dikembangkan dalam bentuk yang lebih unggul dengan tidak lagi mengganggap kelompok diri lebih unggul. Sikap eksklusifisme ini seringkali menjadi problem dalam mengembangkan masyarakat yang lebih maju. Yang harus terus kita kembangkan adalah menjadi komunikasi yang lebih intens antar berbagai kelompok agama di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya membangun komunikasi, dan dilanjutkan dengan dialog yang membahas masalah yang lebih substansial akan mengurangi keterbelahan Sunni-Syiah.

Dialog gagasan-gagasan yang bersifat kebangsaan sebenarnya sudah mencoba diletakkan lewat perdebatan yang dilakukan oleh para founding fathers kita. Debat antara Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang landasan keindonesiaan yang lebih akademis. Perdebatan dalam sidang BPUPKI dan PPKI antara golongan agama dan golongan nasionalisme. Perdebatan ini dimaksudnya untuk menemukan identitas keindonesiaan tanpa meninggalkan identitas kelompok kita.

Harus diakui bahwa sampai sekarang sebenarnya kita belum mempunyai kiat-kiat pengaturan kehidupan keberagamaan kita yang sangat majemuk. Pada tataran idelogis dasar komunikasi itu sudah ada. Namun dalam wilayah politik, apalagi menyangkut otoritas penguasa, yang tiap kelompok menganggap penting bahwa memegang kekuasaan adalah keharusan menjadi semakin susah untuk menemukan dialog. Pada tataran inilah, konflik sangat rentan terjadi dan bersifat laten.

Selain dialog, kesejahteraan masyarakat Islam di Indonesia juga harus ditingkatkan. Karena jika sudah sejahtera, orang seringkali memilih untuk hidup dalam perdamaian. Kekuatan dan kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan harus diutamakan, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad, ”kalau kita ingin dicintai oleh Allah, maka setiap muslim haruslah menjadi manusia yang kuat” – kuat dalam artian iman dan taqwanya, kuat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, kuat secara ekonomi, kuat secara jasmani dan mental spiritualnya, serta dalam budaya dan politiknya. Tidak pernah ada masyarakat dhuafa (the haves not) didunia ini yang mampu meraih kekuasaan sosial dan politik. Masyarakat dhuafa akan selalu merupakan masyarakat kelas bawah yang dengan mudah ditindas dan dimarjinalkan menjadi kaum mustadha’afin yang tidak berdaya. Senada dengan pernyaatan diatas maka, kelahiran Islam harus dipahami sebagai bentuk protes terhadap sistem kehidupan umat manusia di dunia, dan sebagai bentuk perlawanan terhadap masyarakat dengan barbagai gaya hidupnya, dalam wilayah yang seperti inilah dimensi revolusioner dan kritis dari agama (Islam) terlihat sangat jelas. Kelahiran Islam dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap adanya imperialsme dan kolonialisme dan penindasan oleh kaum-kaum yang menginginkan adanya kehancuran ummat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, dan melawan ketimpangan strata sosial yang tidak seimbang ditengah-tengah masyarakat

Kelompok XI
Khaerul Reski
Sultan 
Jurusan Ilmu Politik 
UIN Alauddin Makassar

PERANG PADRI

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.(Zulkifli Ampera Salim, 2005, 105)
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.(Sjafnir Aboe Naim, 2004, 80) Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.(Amran Rusli, 1981, 105) Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh(biasa disebut dengan nama imam bonjol).
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya Laemlin meninggal dunia di Padang.
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih (monopoli).
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.(Taufik Abdullah, 1966, 55) Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau; disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.(Amran Rusli, 1981, 120)
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda. Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini
Mengenai masalah peperangan ini yaitu perang paderi atau perang saudara berubah menjadi perang melawan penjajah belanda

DISKUSI KELOMPOK

Pertanyaan dan jawaban
1.       Jelaskan latar belakang terjadinya perang paderi tersebut
Jawaban:
 perang paderi di latar belakangi oleh kepulangan tiga orang haji dari mekkah sekitar tahun 1803, yaitu haji miskin, haji sumanik dan haji piobang yg ingin memperbaiki syariat islam yg belum sempurna dijalankan oleh masyarakat minangkabau (kaum adat)
Kebiasaan yang dilakukan oleh kaum adat seperti sabun ayam, berjudi, dan yang bertentangan dengan syariat islam itu ingin dihilangkan oleh ketiga haji tersebut , agar masyarkat minangkabau meninggalkan kebiasaan tersebut,
Tujuan ketiga haji untuk menghilangkan kebiasaan beruk tersebut agar masyarakat minangkabau sadar dan menjalankan syariat islam atas landasan Al-qur’an.

2.       Jelaskan dampak terjadinya perang tersebut
Jawaban:
seperti yang kita ketahui, mangenai masalah dampak tentu ada dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negative
-Dampak negative
Dampak negative dari perang padre ini yaitu
1.terjadinya perang saudara antara kaum adat dan kaum paderi
Awalnya kaum adat tidak menerima ajakan kaum paderi yg ingin mengubah kebiasaan mereka
2.terjadinya peperangan antara masyarakat minangkabau dengan penjajah belanda .
-Dampak positif
Lama kelamaan akhirnya kaum adat sadar dan ikut bersama kaum paderi


3.       Apa yg menyebabkan sehingga belanda ikut berperang melawan kaum paderi sekaligus menjadi penjajah.
Jawaban:
Berawal dari kaum adat yang meminta bantuan karna terdesak dalam peperangan, maka kaum adat yang di pimpin oleh sultan tangkal alam bagagar
yang meminta bantuan kepada belanda pada tanggal 21 februaru 1821
belanda melakukan perbincangan dengan melakukan perjanjian,  sultan tangkal alam bagagar melakukan perjanjian dengan belanda ,mengatas namakan  kerajaan pagaruyung . maka belanda langsung menyetujui perjanjian tersebut , dan akibatnya dari perjanjian tersebut, belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan pagaruyung kepada hindia-belanda.





4.       Kapan berakhirnya perang antara kaum adat dengan kaum padre ,sehingga menjadi perang masyarakat minangkabau dengan penjajah belanda
Jawaban :
Pada saat itu terjadi pergantian pemimpin oleh kaum adat ,yaitu tuanku Imam bonjol atau Muhammad sahab menjadi pemimpin perang paderi.
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali perbuatannya atau beberapa tindakan kekerasan yang di lakukan kaum padre terhadap saudara-saudaranya yaitu kaum adat, sebagaimna yang terdapat di memorinya
Selama periode gencatan senjata , tuanku imam bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan mencoba merangkul kembali saudaranya kaum adat, sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan “plaka puncak pato” di bukit marapalam, kabupaten tanah datar yang mewujudkan konsensus bersama adat basandi syarak, syarat basandi kitabullah yang artinya adat minangkabau berlandaskan kepada agama islam, islam berlandaskan kepada al-qur’an
Pada saat itulah kauam adat dan kaum  mulai bergabung untuk focus melawan penjajah belanda


5.       Apa yang dilakukan belanda pada saat itu sehingga terjadi perang antara masyarakat minangkabau dengan belanda
Jawaban ;
Secara tidak langsung dengan bantuan belanda kepada kaum adat sebelumnya, mereka memanfaatkan kejadian tersebut dengan ingin menguasai wilayah di minangkabau beserta hasil tanam seperti kopi,yang sedang meluas di pedalaman minangkabau.
Komoditas  perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.







NAMA :  RIFANDI MUCHTAR               (30600113041)
               : RANDY SETYA ARI SURYA (30600113071)
JURUSAN: ILMU POLITIK 3-4
SEMESTER: III

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes