Sabtu, 10 Januari 2015

GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM)


Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang dianggap separatis) yang memiliki tujuan supaya Aceh, yang merupakan daerah yang sempat berganti nama menjadi Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa.
Secara historis setelah Negara Indonesia memproklamirkan diri atas kemerdekaannya pada 17 agustus 1945, Soeharto sebagai pemangku jabatan presiden mendatangi raja-raja yang ada di nusantara tak terkecuali raja aceh kala itu. ia meminta persetujuan untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Raja Aceh menyetujui permintaan Soeharto namun dengan syarat Profinsi Aceh diberi wewenang untuk menerapkan hukum syariah di profinsi tersebut. Presiden Soeharto belum menorehkan hitam diatas putih tanda sepakat namun ia mesti berbalik ke jawa karena terjadi terjadi perang.
Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Pada tanggal 2 Juni 2010, ia memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh (Otto Syamsuddin Ishak, 2010).
Hasan di Tiro merupakan masyarakat asli Aceh dari desa Tiro di Kabupaten Pidie, ia melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk PBB. Saat belajar di New York pada 1953, ia mendeklarasikan dirinya sebagai "menteri luar negeri" untuk gerakan pemberontak Darul Islam, yang di Aceh dipimpin Daud Beureueh. Karena aksi ini, ia dicabut kewarganegaraan Indonesia, menyebabkan dia dipenjara di Penjara Ellis Island sebagai warga asing ilega(http://id.wikipedia.org/ wiki/Hasan_di_Tiro)
Pada tahun 1945-1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang kemerdekaan melawan Belanda dan akibatnya disinyalir mampu mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.
1953-1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh menyatakan bahwa provinsi Aceh akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan penurunan Aceh dari status provinsi. Pemberontakan dimana Aceh merupakan bagian ini, kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Darul Islam. Aspinall berpendapat bahwa kegagalan pemberontakan ini menandai berakhirnya identifikasi Aceh dengan haluan pan-Indonesia/Islamis dan meletakkan dasar bagi partikularisme.
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh,
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan, dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi. Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti berfungsi(Schulze, Kirsten E. 2004).
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui "Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme" Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda. Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. (Aspinall, Edward 2009).
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya.[15] Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto. (Leonard Sebastian 2006)
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia.  Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktekkan sistem demokrasi." Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto. (Aspinall op. Cit.)
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch, militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember 2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.[28] Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi.
Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai, ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh akan perlu ditangani.
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan anggota GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan anggota GAM. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_ di_ Aceh)

Kelompok VII
Asrullah
Ardi Aminuddin

Jumat, 09 Januari 2015

Kehadiran Serikat Dagang Islam ditengah penjajahan Belanda pada tahun 1911

PROFIL PERISTIWA
Syarikat islam (disingkat SI) dahulu bernama Sarekat Dagang Islam (disingkat SDI) didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 didirikan oleh Haji Samanhudi SDI merupakan organisasi yang pertama kali lahir di indonesia,pada awalnya Organisasi yang dibentuk oleh Haji Samanhudi ini adalah perkumpulan-perkumpulan pedaganga-pedagang islam yang menantang masuknya pedagang asing untuk menguasai komplar ekonomi rakyat pada masa itu. Selanjutnya pada tahun 1912 berkat keadaan politik dan social tersebut HOS Tjokroaminoto menggagas SDI untuk mengubah nama dan bermetamorfosis menjadi menjadi organisasi pergerakan yang hingga sekarang disebut SYARIKAT ISLAM, HOS Tjokroaminoto mengubah yuridiksi SDI lebih luas yang dulunya mencakupi permasalahan ekonomi dan social. Kearah politik dan agama untuk menyumbangkan semangat perjuangan islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan imperealisme pada masa tersebut.
[1] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia untuk sekolah lanjutan tingkat atas, 1992, Hal : 62-103

Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang islam. Organisasi ini dirintis pada oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar bersaing dengan pedagang Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan social karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut Inlanders.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar pergerakannya. Dibawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah dibatavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisurjo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan india, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan Hindia.
[2] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Yayasan Benteng  Budaya Yogyakarta, 1992, Hal : 102-109

JUDUL : Kehadiran Serikat Dagang Islam ditengah penjajahan Belanda pada tahun 1911
 pada mulanya sarekat islam adalah sebuah perkumpulan para pedagang yang bernama sarekat dagang islam (SDI). Pada tahun 1911, SDI didirikan di kota Solo oleh H. Samanhudi sebagai suatu koperasi pedagang batik jawa. Garis yang diambil dari SDI adalah koperasi, dengan tujuan memajukan perdagangan Indonesia dibawa panji-panji islam. Keanggotaan SDI masih terbatas pada ruang lingkup pedagang maka tidak memiliki anggota yang cukup banyak. Oleh karena itu, agar memiliki anggota yang banyak dan luas ruang lingkupnya maka pada tanggal 18 september 1912, SDI diubah menjadi SI (Sarekat Islam).
Organisasi sarekat islam (SI) didirikan oleh beberapa tokoh SDI seperti H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis, dan H. Agus Salim. Sarekat Islam karena bermotivasi agama islam.
Latar belakang ekonomi berdirinya Sarekat Islam adalah :
Perlawanan terhadap para pedagang perantara (penyalur) oleh orang cina.
Isyarat pada umat Islam bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan kekuatannya
Membuat front melawan semua penghinaan terhadap bumi putera.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan anggaran dasarnya adalah :

Mengembangkan jiwa pedagang.
Memberi bantuan kepada anggotanya yang mengalami kesukaran.
Memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya derajat bumi putera.
Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama islam.
Tidak bergerak dalam bidang politik, dan
Menggalang persatuan umat islam hingga saling tolong-menolong.


Pada tanggal 29 Maret 1913, para pemimpin SI manggandakan pertemuan dengan Gubernur Jenderal Indenburg untuk memperjuangankan SI berbadan hukum. Jawaban dari Indenburg pada tanggal 29 Maret 1913, yaitu SI di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto tidak diberi badan hukum. Ironisnya yang mendapat pengakuan pemerintah colonial Belanda (Gubernur Jenderal Indenburg) justru cabang-cabang SI yang ada didaerah. Ini suatu taktik pemerintah colonial Belanda dalam memecah belah persatuan SI.

Banyak pemecahan muncul dari pandangan yang berbeda antara H.O.S. Cokroaminoto dengan semaun mengenai kapitalisme. Menurut semaun yang memiliki pandangan sosialis, bergandeng dengan kapitalis adalah haram. Dalam kongres SI yang dilaksanakan pada tahun 1921, ditetapkan adanya disiplin partai rangkap anggota. Setiap anggota SI tidak boleh merangkap sebagai anggota  lain terutama yang beraliran komunis. Akhirnya SI pecah menjadi dua, yaitu SI Putih dan SI Merah.
SI Putih yang tetap berlandasan nasionalisme dan islam. Dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Suryopranoto yang berpusat di Yokyakarta.
SI Merah yang berhaluan sosialisme kiri (komunis). Dipimpin oleh Semaun, yang berpusat disemarang.

Dalam kongresnya di Medium, SI Putih beganti nama  menjadi partai Sarekat Islam (PSI). kemudian pada tahun  1927 berubah lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Sementara itu, SI Sosialis/Komunis berganti nama menjadi Sarekat Raya (SR) yang merupakan pendukung kuat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada bulan Mei 1912 seorang tokoh yang kelak menjadi ‘ruh’ pergerakan yaitu Oemar Said Tjokroaminoto, bergabung atas undangan H. Samanhudi. Oemar Said pada saat itu dikenal sebagai orang yang radikal anti foadalisme dan anti penjajah. Beliau dikenal sebagai orang yang menentang kebiasaan-kebiasaan yang ada, mengaggap sama dan sederajat dengan bangsa manapun, beliau tidak mau menghormat-hormat para pejabat, bangsawan apalagi terhadap kaum penjajah. Di samping memiliki sikap yang demikian, Tjokroaminoto mempunyai keinginan kawan sebangsanya memiliki sikap yang demikian. Anggaran Dasar baru Sarekat Islam bagi seluruh Indonesia disusun Tjokroaminoto, kemudian pada  bulan September 1912 diajukan surat permohonan agar sarekat islam diakui kedudukannya  sebagai badan hukum. Anggaran dasar baru menyebutkan bahwa Tujuan Sarekat Islam adalah memajukan semangat dagang bangsa, memajukan kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham yang keliru mengenai agama islam.

Kehadiran Tjokroaminoto di SI merupakan  dimulainya babak baru dalam organisasi pergerakan Indonesia. Orientasi agama berubah, dari orientasi social ekonomi menjadi organisasi berorientasi social politik. Perubahan nama dari SDI menjadi sarekat islam merupakan indikasi transformasi organisasi yang berlatar belakang ekonomi kepada politik. SI sebagai gerakkan politik pada sejak tahun 1912, juga dikemukakan oleh Jhon Ingleson dalam ‘jalan kepengasingan’ yang menyatakan bahwa pada tahun 1912, ia merupakan partai politik islam yang terkemuka dan selama beberapa tahun menjadi partai modern satu-satunya pada masa colonial.

Pada tanggal 26 januari 1913, diadakan kongres I Sarekat Islam di Surabaya. Ribuan orang datang berbondong-bondong, jalan-jalan menuju taman  kota dimana kongres diselenggarakan penuh sesak oleh orang. Ketua H. Samanhudi disambut besar-besaran, distasiun beliau disambut dengan korps music dan dibopong beramai-ramai menuju mobil jemputan. Menurut laporan asisten residen kepolisian pada tanggal 12  februari, menyebutkan bahwa massa  yang hadir pada saat itu ditaksir antara delapan sampai sepuluh ribu orang.
Kongres tersebut dipimpin oleh Tjokroaminoto dan pada kongres itu beliau menyatakan bahwa sarekat islam bertujuan :  “…membangun kebangsaan, mencari hak-hak kemanusiaan yang memang sudah tercetak oleh Allah, menjunjung derajat yang masih rendah, memperbaiki nasib yang masih jelek dengan jalan mencari tambahan kekayaan”.

Kemudian pada tanggal 23 Maret tahun yang sama, kongres ke II dilaksanakan disolo. Pada kongres itu H. Samanhudi terpilih sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakil. Kongres tersebut dipimpin oleh Tjokroaminoto.

Sarekat Islam bagai setrum tegangan tinggi yang menghentakkan seluruh syaraf kesadaran kaum muslimin bangsa Indonesia untuk segera mendobrak penjara-penjara yang telah mengurung seluruh eksistensi mereka berabad-abad. Semangat perlawanan yang muncul dimana-mana dipandang oleh korver sebagai gerakan emansipasi kalangan Sarekat Islam, suatu cita-cita yang dihayati oleh para pemimpinnya. Gerakan emansipasi tersebut meliputi :




Penolakan akan berbagai prasangka negative dan diskriminasi terhadap golongan pribumi.

Pada kongres di Bandung, Tjokroaminoto menyatakan : “…merupakan tugas Sarekat Islam untuk memprotes kata-kata dan perbuatan yang bermaksud merendahkan.

Penilaian yang positif terhadap identitas diri sebagai bangsa

Identitas diri meliputi masalah keagamaan, seperti ungkapan yang melarang dan mengingkari agama sendiri, yaitu agama islam.  Harian Kaum Muda pada tahun 1915 mengecam suatu perkawinan antara putri seorang Bupati dengan seorang perwira eropa yang tidak menganut agama islam.

[3] Jurdi, Syarifuddin. 2014 Kekuatan-kekuatan Politik Indonesia, konsistensi Ideologi dan kepemimpinan, Hal : 75-88

IMPLIKASI

Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut :

Mengembangkan jiwa dagang.
Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama islam.
Hidup menurut perintah agama.

   Disusun Oleh:
+Muhammad Ikram
+Khaerul Mahmud





PERANG DIPONEGORO

PERANG DIPONEGORO (1825-1830)
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh ahli sejarah, perang ini menewaskan sekitar 200.000 orang warga pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh di wilayah Jawa, sehingga disebut Perang Jawa.
Adapun yang melatarbelangkangi perang ini yaitu, Setelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak hasil bumi diambil oleh Belanda.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro, diakses pada tanggal 9 November 2014)
Pada bulam Mei 1825, sebuah jalan dibangun didekat Tegalrejo pihak belanda yang membuat jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo tanpa persetujuan dari pangeran diponegoro. Pangeran diponegoro dan masyarakat merasa tersinggung dan marah karena Tegalrejo adalah tempat makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Selain itu pembuatan jalan tersebut akan menggusur banyak lahan. Hal inilah yang menjadi titik tolak terjadinya perang Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah tanah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H.Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undanganitu ditolak mentah-mentah olehnya.Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.
Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro besrta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, lalu meneruskan kearah selatan sampai ke Goa Selarong (Junaidi, PT Mapan: 2007).
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung,yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro, diakses pada tanggal 9 November 2014). Selain itu juga ikut bergabung dalam barisan Pasukan Pangerang Diponegoro adalah Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) .
Pada tanggal 20 juli 1925 merupakan permulaan dari perang Jawa dimana Pangeran Diponegoro menggunakan Strategi perang gerilya dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V. ( Abdul Qadir Djaelani, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah: 1999).
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. ((http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro, diakses pada tanggal 10 November 2014) Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun dihutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melaluiinsinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829 Pangeran Diponegoro dan tentaranya kesulitan. Selain akibat Benteng Stelsel yang dilakukan oleh Belanda, kesulitan juga disebabkan adanya perselisihan di antara para pemimpin. Pangeran Diponegoro berbeda pandapat dengan Kyai Mojo tentang maslah pemerintahan dan agama. Menurut pangeran Diponegoro, masalah pemerintahan dan agama cukup dipegang dalam satu tangan. Sementara itu. Kyai Mojo berpendapat bahwa masalah pemerintahan dan agama harus terpisah. Sentot Ali Basa yang berselisih pendapat dengan pangeran Diponegoro akhirnya memilih menyerah pada Belanda stelah permintaatnya dikabulkan oleh Belanda. Pangeran mangkabumi menyerah pada Belanda pada bulan September 1829, setelah beberapa pemimpin yang lainnya menyerah terlebih dahulu.
Walaupun beberapa pemimpin lainnya tertangkap, Pangeran Diponegoro tetap meneruskan perlawanan dangan semangat berjihad melawan kekuasaan asing yang ada di pulau Jawa. Pada awal tahun 1830, Pemimpin tentara Belanda jenderal de Kock bermaksud segera mengakhiri perang dengan jalan mengadakan perdamaian. Jenderal de Kock mengatakan apabila tuntutan pangeran Diponegoro tidak dapat dipenuhi dan perundingan gagal, maka Pangeran Diponegoro dapat meneruskan perang. Karena itu pada tanggal 21 januari 1830 diadakan perundingan awal di Bukit Menoreh. Pangeran Diponegoro dan tentaranya datang ke tempat tersebut. Perundingan berikutnya diadakan pada tanggal 28 maret 1830 di Rumah Residen Kedu di kota Mangelang. Ketika tuntutan pangeran Diponegoro agar beliau diakui sebagai pemimpin umat Islam se-jawa tidak dikabulkan oleh Belanda, Pangeran Diponegoro langsung ditangkap. Siasat licik seperti ini memang sering dilakukan oleh Belanda. Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia kemudian diasingkan ke Manado. Dari Manado, Pangeran Diponegoro dibawa Ke Makassar. Ia kemudian ditawan di benteng Rotterdam dan meninggal di sana pada tanggal 8 januari 1855. ( Drs. Prawoto, M.Pd., Yudhistira Quadra: 2006).

Hasil Diskusi: Pertanyaan dan Jawaban

1. Apa permintaan Sentot Ali Basa terhadap Belanda dan akhir kisah perang Diponegoro ? (Asrullah)
- permintaan yang diajukan oleh Alibasah; yaitu:
(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-
(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
(c) Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia;
(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.
- Adapun akhir kisah dari perang Diponegoro ini adalah dimana Pangeran Diponegoro ditangkap, lalu Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia kemudian diasingkan ke Manado. Dari Manado, Pangeran Diponegoro dibawa Ke Makassar. Ia kemudian ditawan di benteng Rotterdam dan meninggal di sana pada tanggal 8 januari 1855.
2. Dasar apa yang menyebabkan dari 19 pangeran hanya 15 pangeran yang ikut perperang dalam Perang Diponegoro ? (Mucklis)
- Perlu kita ketahui Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, hal inilah salah satu penyebab mengapa hanya 15 pangeran dari 19 pangeran yang ikut bertempur. Terus kalau ditanya mengapa 15 pangeran ini ingin ikut perperang karena mereka ingin lepas dari segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, salah satunya adalah pajak yang sangat tinggi.
3. Apa setelah Perang Diponegoro selesai apakah Perang Jawa Masih berlangsung ?
Bukan hanya di Jawa tapi diseluruh Nusantara semuanya perperang melawan Penjajah, mengapa saya katakan demikian karena buktinya kita bisa merdeka.
4. Bagaimana peran Pangeran Diponegoro di Makassar ? (Ilham)
Adapun peran Pangeran Diponegoro di Makassar ialah, perlu kita ketahui bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang ulama jadi selama dia di Makassar ia melakukan Dakwah, sama halnya dengan Syech Yusuf dimanapun dia diasingkan dia tentang berdakwah.
5. Apa alasan Belanda tidak memenuhi syarat Pangeran Diponegoro ? (Nur Hijrah)
Belanda tidak menyetui atau tidak memenuhi syarat Pangeran Diponegoro karena Belanda takut taktik-taktik licik mereka tidak dapat terlaksanakan. Karena perlu kita ketahui bahwa Belanda itu sangat licik

DISUSUN OLEH
MUH. ILHAM HASANUDDIN
ABDUL KHALID
SYAMSURIADI K. HUNDA

Kamis, 01 Januari 2015

ISRAEL-PALESTINA





Namun dalam sejarah kontemporer, konflik Palestina-Israel dimulai pada tahun 1967 ketika Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania).
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa kaum Yahudi adalah bangsa campuran dari berbagai kalangan dan elemen yang kemudian dipersatukan oleh satu karakter dan watak yang hamper sama. Mereka membentuk komunitas tersendiri dengan bahasa campuran yang klasik, seperti bahasa Syiriak, Akadian dan bahasa Phinisian. Mereka mempunyai kebiasaan mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain. Mereka juga pernah menyerbu bumi Kananiah dengan merampas dan mengeksploitasi penduduknya (Najamuddin Muhammad; 2014; 15-16).
Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan. Ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengingat sekaligus upaya membuka pemahaman kita mengenai latar belakang sejarah sebab terjadinya konflik ini.
 
Konflik Palestina – Israel menurut sejarah sudah 31 tahun ketika pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania).. Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan. Ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengingat sekaligus upaya membuka pemahaman kita mengenai latar belakang sejarah sebab terjadinya konflik.

2000 SM – 1500 SM
Istri Nabi Ibrahim A.s., Siti Hajar mempunyai anak Nabi Ismail A.s. (bapaknya bangsa Arab) dan Siti Sarah mempunyai anak Nabi Ishak A.s. yang kemudian mempunyai anak Nabi Ya’qub A.s. alias Israel (Israil, Qur’an). Anak keturunannya disebut Bani Israel sebanyak 7 (tujuh) orang. Salah satunya bernama Nabi Yusuf A.s. yang ketika kecil dibuang oleh saudara-saudaranya yang dengki kepadanya. Nasibnya yang baik membawanya ke tanah Mesir dan kemudian dia menjadi bendahara kerajaan Mesir. Ketika masa paceklik, Nabi Ya’qub A.s. beserta saudara-saudara Yusuf bermigrasi ke Mesir. Populasi anak keturunan Israel (Nabi Ya’qub A.s.) membesar.

1550 SM – 1200 SM
Politik di Mesir berubah. Bangsa Israel dianggap sebagai masalah bagi negara Mesir. Banyak dari bangsa Israel yang lebih pintar dari orang asli Mesir dan menguasai perekonomian. Oleh pemerintah Firaun bangsa Israel diturunkan statusnya menjadi budak.

1200 SM – 1100 SM
Nabi Musa A.s. memimpin bangsa Israel meninggalkan Mesir, mengembara di gurun Sinai menuju tanah yang dijanjikan, asalkan mereka taat kepada Allah Swt – dikenal dengan cerita Nabi Musa A.s. membelah laut ketika bersama dengan bangsa Israel dikejar-kejar oleh tentara Mesir menyeberangi Laut Merah. Namun saat mereka diperintah untuk memasuki tanah Filistin (Palestina), mereka membandel dan berkata: “Hai, Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi ada orang yang gagah perkasa di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu (Tuhanmu), dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS 5:24)
Akibatnya mereka dikutuk oleh Allah Swt dan hanya berputar-putar saja di sekitar Palestina. Belakangan agama yang dibawa Nabi Musa A.s. disebut Yahudi – menurut salah satu marga dari bangsa Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda, dan akhirnya bangsa Israil – tanpa memandang warga negara atau tanah airnya – disebut juga orang-orang Yahudi.

1000 SM – 922 SM
Nabi Daud A.s. (anak Nabi Musa A.s.) mengalahkan Goliath (Jalut, Qur’an) dari Filistin. Palestina berhasil direbut dan Daud dijadikan raja. Wilayah kerajaannya membentang dari tepi sungai Nil hingga sungai Efrat di Iraq. Sekarang ini Yahudi tetap memimpikan kembali kebesaran Israel Raya seperti yang dipimpin raja Daud. Bendera Israel adalah dua garis biru (sungai Nil dan Eufrat) dan Bintang Daud. Kepemimpinan Daud A.s. diteruskan oleh anaknya Nabi Sulaiman A.s. dan Masjidil Aqsa pun dibangun.

922 SM – 800 SM
Sepeninggal Sulaiman A.s., Israel dilanda perang saudara yang berlarut-larut, hingga akhirnya kerajaan itu terbelah menjadi dua, yakni bagian Utara bernama Israel beribukota Samaria dan Selatan bernama Yehuda beribukota Yerusalem.

800 SM – 600 SM
Karena kerajaan Israel sudah terlalu durhaka kepada Allah Swt maka kerajaan tersebut dihancurkan oleh Allah Swt melalui penyerangan kerajaan Asyiria.
“Sesungguhnya Kami telah mengambil kembali perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini hawa nafsu mereka, maka sebagian rasul-rasul itu mereka dustakan atau mereka bunuh.” (QS 5:70)
Hal ini juga bisa dibaca di Injil (Bible) pada Kitab Raja-raja ke-1 14:15 dan Kitab Raja-raja ke-2 17:18.

1996
Pemilu di Israel dimenangkan secara tipis oleh Netanyahu dari partai kanan, yang berarti kemenangan Yahudi yang anti perdamaian. Netanyahu mengulur-ulur waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian. Ia menolak adanya negara Palestina, agar Palestina tetap sekedar daerah otonom di dalam Israel. Ia bahkan ingin menunggu/menciptakan kontelasi baru (pemukiman Yahudi di daerah pendudukan, bila perlu perluasan hingga ke Syria dan Yordania) untuk sama sekali membuat perjanjian baru.
AS tidak senang bahwa Israel jalan sendiri di luar garis yang ditetapkannya. Namun karena lobby Yahudi di AS terlalu kuat, maka Bill Clinton harus memakai agen-agennya di negara-negara Arab untuk “mengingatkan” si “anak emasnya” ini. Maka sikap negara-negara Arab tiba-tiba kembali memusuhi Israel. Mufti Mesir malah kini memfatwakan jihad terhadap Israel. Sementara itu Uni Eropa (terutama Inggris dan Perancis) juga mencoba “aktif” menjadi penengah, yang sebenarnya juga hanya untuk kepentingan masing-masing dalam rangka menanamkan pengaruhnya di wilayah itu. Mereka juga tidak rela kalau AS “jalan sendiri” tanpa bicara dengan Eropa.

2002 – 2008
Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 “reservasi”. Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh “kehadiran sipil dan militer yang permanen” di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan “mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza.” Pemerintah Israel berpendapat bahwa “akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan,” sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel “akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok – artinya, Penghalang Tepi Barat Israel – dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini”
Di hari kemenangan Partai Kadima pada pemilu tanggal 28 Maret 2006 di Israel, Ehud Olmert – yang kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri Israel menggantikan Ariel Sharon yang berhalangan tetap karena sakit – berpidato. Dalam pidato kemenangan partainya, Olmert berjanji untuk menjadikan Israel negara yang adil, kuat, damai, dan makmur, menghargai hak-hak kaum minoritas, mementingkan pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta terutama sekali berjuang untuk mencapai perdamaian yang kekal dan pasti dengan bangsa Palestina. Olmert menyatakan bahwa sebagaimana Israel bersedia berkompromi untuk perdamaian, ia mengharapkan bangsa Palestina pun harus fleksibel dengan posisi mereka. Ia menyatakan bahwa bila Otoritas Palestina, yang kini dipimpin Hamas, menolak mengakui Negara Israel, maka Israel “akan menentukan nasibnya di tangannya sendiri” dan secara langsung menyiratkan aksi sepihak. Masa depan pemerintahan koalisi ini sebagian besar tergantung pada niat baik partai-partai lain untuk bekerja sama dengan perdana menteri yang baru terpilih.
Sementara itu sebelum terjadinya serangan habis-habisan Israel ke Gaza (27/12/2008), sudah terjadi serangan-serangan kecil di antara kedua belah pihak di sekitar Jalur Gaza, disebabkan Israel menutup tempat-tempat penyeberangan atau jalur komersial ke Gaza sehingga pasokan bahan bakar minyak terhenti, yang memaksa satu-satunya pusat pembangkit listrik di Jalur Gaza tutup.
Sebagai catatan akhir, Perdana Menteri Israel setelah Benjamin Netanyahu berutur-turut adalah Ehud Barak, Ariel Sharon, dan yang masih berkuasa di Israel dalam penyerangan di Gaza sekarang adalah Ehud Olmert. Sedangkan 4 faksi utama di Palestina adalah PLO, Al-Fatah, Jihad Islam Palestina (JIP), dan yang berkuasa sekarang di Palestina adalah Hamas dengan Perdana Menterinya Ismail Haniya.(Fred J. Khoruri;19668; 21-24)
Pada 28 Sept 2000, Intifadah Kedua dimulai, dipimpin oleh HAMAS. PNA sendiri dalam pihak yang bertentangan dengan HAMAS. PNA lebih milih untuk berdialog daripada berperang. Pada 26 Okt 2004, gigihnya perjuangan Intifadah II membuat Israel kewalahan dan mengesahkan program penarikan mundur dari Jalur Gaza. Pada, 11 Nov 2004 Yaser Arafat meninggal. Kepemimpinan di PLO digantikan oleh Mahmoud Abbas. September 2005 dimulai penarikan mundur tentara Israel dari Jalur Gaza. Inilah kemenangan para pejuang Palestina setelah 38 tahun.
Namun, Israel terus melancarkan serangan dan teror ke Jalur Gaza. Selain itu, Israel mendirikan tembok-tembok pembatas yang mengucilkan pemukiman Palestina dan memperlebar perumahan bagi bangsa Yahudi. Pada Pemilu 2006, HAMAS memenangi pemilu. Namun, sebagian besar negara barat menolak hasil pemilu ini karena menanggap HAMAS adalah teroris dunia. HAMAS sendiri berpusatkan di daerah Jalur Gaza. Beberapa kali terjadi bentrok antara HAMAS dan Israel yang ditandai saling meluncurkan roket dan misil di perbatasam.
 Hal ini memaksa perang terjadi. Perang yang terakhir terjadi pada Desember 2008. Pasca gencatan senjata berakhir pada November 2008, tank-tank Israel masuk ke perbatasan  jalur Gaza dan milisi HAMAS menembakkan roket ke arah Israel dari Jalur Gaza. Pada tanggal 27 Desember 1998, Israel melakukan serangan udara yang diikuti serangan darat ke arah Jalur Gaza dengan dalih memusnahkan HAMAS. Perang terjadi sampai dengan 19 Januari 2008 dan menewaskan 1200 lebih warga Palestina dan belasan tentara Israel. Sayangnya, dari kebanyakan warga yang tewas bukanlah dari kalangan militer. Bahkan, sekitar 600 orang merupakan anak-anak dan perempuan.
Pada tanggal 21 Januari 2009, Israel telah menarik mundur pasukannya dari Jalur Gaza. Keadaan Jalur Gaza saat ini bagaikan kota yang luluh lantah. Bangunan hancur dan masyarakat yang mengalami luka baik fisik maupun mental yang traumatis akibat perang. Rumah sakit penuh oleh orang yang terluka dan masyarakat yang hidup di sana kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Meskipun bantuan telah masuk, namun diperkirakan Jalur Gaza tidak akan pulih dalam waktu dekat. Padahal, keadaan di Palestina masih memungkinkan untuk terjadi perang kembali. Korban-korban lain masih mungkin berjatuhan. (Trias Kuncahyono; 1977; 35)memungkinkan untuk terjadi perang kembali. Korban-korban lain masih mungkin berjatuhan.

 pertanyaan dari teman – teman sebagai berikut :

1.    Latar  belakang mengapa Israel menyerang Gaza Palestina

2.    Apa yang pernah dilakukan Palestina Gaza sehingga Israel menyerang Palestina Gaza

3.    Apa hubungan Inggris, Gaza, Amerika, dan Gaza





                 OLEH :

         WAHYU HIDAYAT : 30600113063

         KHAERUL M






Selasa, 23 Desember 2014

Konflik Sunni dan Syiah di Sampang




Perayaan Lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang, kemarin, berubah menjadi horor. Kejadian penyerangan pada Desember 2011 terulang. Satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar akibat penyerangan, Minggu, 26 Agustus 2012. Korban tewas diketahui bernama Hamamah, 45 tahun. Dia meninggal akibat sabetan senjata tajam dari kelompok penyerang. Sedangkan korban kritis bernama Tohir, Mat Siri, Abdul Wafi, dan ibunda ustad Tajul Muluk. “Padahal ibunda ustad Tajul bukan penganut Syiah," kata Zain, anak salah seorang korban kritis, Tohir. Tajul Muluk adalah pemimpin Syiah di Nangkernang yang kini mendekam di penjara setelah divonis dua tahun bui karena penodaan agama.
Adapun korban kritis akibat sabetan senjata tajam dan lemparan batu. Kini mereka tengah dirawat di RSUD Sampang dan mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. "Untuk yang luka ringan, saya tidak tahu mereka dirawat atau tidak," kata Zain kepada Tempo. Zain, yang merupakan pengajar di pesantren Syiah, menuturkan bahwa penyerangan terjadi mulai pukul 08.00. Saat itu, sebagian besar warga Syiah sedang merayakan Lebaran ketupat. Tiba-tiba, dari arah sebelah timur yang tertutupi perbukitan, muncul ratusan orang. Mereka menyebar dengan berjalan melintasi persawahan sambil mengacungkan celurit dan berteriak. "Sekarang bukan hanya rumahnya, tapi orangnya juga harus habis," tutur Zain, menirukan teriakan itu.
Melihat itu, Zain bersama beberapa warga Syiah, termasuk korban tewas, bersembunyi di salah satu bagian rumah Tajul Muluk, yang selamat dari amuk massa dalam penyerangan sebelumnya. "Mereka tidak langsung duel, tapi melempari kami dulu dengan batu," kata Zain. Akibat lemparan batu itu, sejumlah orang Syiah mengalami cedera. Salah satunya Hamamah, yang akhirnya tewas dibantai. "Kami sembunyi dalam sungai, kami selamat setelah polisi datang," tutur Zain.
Meski selamat, Zain mengaku kecewa terhadap aparat kepolisian karena baru tiba di lokasi pukul 15.00 atau delapan jam setelah penyerangan. "Semua rumah jemaah Syiah dibakar pakai bensin, sekitar 50 rumah, termasuk rumah saya," katanya.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Hilman Thayib memastikan korban tewas akibat kerusuhan Sampang berjumlah satu orang. Hilman menuturkan kronologi yang berbeda dengan Zain. Menurut Hilman, awalnya, sebanyak 20 anak warga Syiah yang menumpang minibus dihadang 30 sepeda motor. Mereka kemudian dipaksa pulang dan dilarang belajar di pesantren Syiah yang ada di luar Sampang. "Saat itu, terjadi keributan dan perkelahian hingga menimbulkan satu korban meninggal bernama Hamamah," kata Hilman.
Pasca-penyerangan, polisi menerjunkan ratusan personel di lokasi kejadian dan dibantu personel dari Komando Distrik Militer setempat. Seluruh warga Syiah juga diungsikan ke Gelanggang Olahraga Sampang. Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) telah mengusut kasus penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang Madura, pada 26 Agustus 2012. TTR terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Andy Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan mengatakan, dalam pengusutan kasus, TTR mendapatkan 14 butir kesimpulan dari temuan penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang Madura.
"Ke-14 temuan terkait konflik, perempuan dan konflik, anak dan konflik, pelanggaran HAM, peran dan posisi negara, serta tentang konsekuensi kekerasan dan penyikapannya," kata Andy di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (26/8/2013). Andy menjelaskan, konflik antara penganut Syiah dan Sunni di Sampang bersifat kompleks, multiras, dan multidimensional. Menurutnya, faktor sosio-kultural, agama, ekonomi, dan politik, turut mendorong terjadinya konflik. "Lemahnya penegakan hukum dalam konteks pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan," ujarnya.
Mengenai perempuan dan konflik, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan jadi bagian integral dalam peristiwa intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama. Perempuan menjadi korban langsung dan tak langsung saat serangan. TTR juga menemukan anak dari kedua pihak menjadi korban, sehingga pendampingan termasuk pemulihan perlu dilakukan kepada kedua kelompok anak tersebut. Menurutnya, upaya perlindungan anak belum bersifat substansif, baik perlindungan khusus untuk anak-anak di pengungsian, maupun anak-anak di wilayah Sampang. "Dalam konflik di Sampang, ada hak-hak asasi yang dilanggar meski dijamin dalam UUD 1945,"
Negara dalam konflik tersebut belum mampu memastikan pemenuhan hak konstitusional. Negara juga belum mampu menyentuh akar konflik tersebut. Dalam konflik Sampang, pemerintah daerah dan aparat keamanan justru memerlihatkan keberpihakan pada kehendak kelompok mayoritas. Dalam kasus itu terjadi kriminilisasi warga negara atas dasar agama dan keyakinan sesuai hati nuraninya, dengan dakwaan penodaan agama.TTR menemukan vonis rendah bagi para pelaku serangan, bahkan vonis bebas terhadap Rois Al Hukana membuktikan negara gagal memberikan perlindungan HAM. Jaksa penuntut umum dan majelis hakim tidak mengusut fakta persidangan terhadap pelaku, sehingga tidak ada putusan hakim yang mengatur tentang ganti rugi materiil atas harta benda korban. Negara mengokohkan akar konflik, sehingga potensial memicu konflik ke wilayah lain. "Negara, yaitu Kementerian Agama bersama Pemkab Sampang, melakukan pemaksaan pindah keyakinan melalui 'pembinaan' bagi penganut Syiah,"
Para penduduk yang sejak awal memang tidak mempersiapkan diri untuk bertarung akhirnya terdesak. Terpaksa mereka mundur ke perkampungan, menghindar serangan warga Syiah. Dalam situasi terdesak, ada sebagian penduduk menggunakan pengeras suara milik Masjid. Dari speaker disampaikan kesediaan masyarakat sekitar untuk membantuk menghadapi serangan pengikut Tajul Muluk. Gayung pun bersambut. Terjadilah saling serang antar dua kubu”. Dari laporan tersebut, sesungguhnya ada pelanggaran kesepakatan dari pihak Syiah. Jika saja, pengikut Tajul Muluk memenuhi kesepakatan dan menerima persyaratan damai dengan cara tidak akan menyebarkan ajaran pelecehan, pasti tidak akan terjadi bentrok. Dari hasil kajian, beberapa pihak terkait melakukan upaya-upaya penyelesaian. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah aliran Syiah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain. Berdasarkan hal itu, Pemkot Sampang pun berjanji membiayai anak-anak Syiah untuk mengirim ke pondok pesantren Ahlus Sunnah. Pencegahan dini harus dilakukan. Sebab, jika anak-anak tersebut dibiarkan jadi menganut ajaran penistaan terhadap Sahabat, maka Sampang akan terus membara lagi kelak. Upaya-upaya aparatur pemerintah, ulama dan pihak keamanan harus didukung. Solusi mereka menyentuh akar utama penyebab konflik. Bahwa, penistaan terhadap Sahabat dan Istri Nabi yang dilakukan secara publik yang menjadi sebab bentrok. Menutupi akar utama, apalagi memotongnya justru akan memelihara konflik menjadi lebih besar lagi.Yang harus kita cerna baik-baik, bahwa kekerasan membabi buta adalah kriminil tapi bukan berarti Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap  penistaan agama. Terhadap aliran sesat, Islam memiliki aturan yang adil. Memang ada perintah bersikap ramah namun diperintah pula bersikap tegas. Maka dapat disimpulkan bahwa ajaran pelecehan terhadap kesucian agama-lah yang sesungguhnya memicu konflik sosial. Ajaran seperti ini jika dibiarkan memperkeruh keamanan masyarakat, karena penodaan agama hakikatnya melanggar Hak Asasi Manusia. Pelecehan terhadap agama hakikatnya pelecehan terhadap hak manusia. Sebab, hak manusia yang paling asasi adalah hak untuk menjaga agamanya. Jika kesucian agama dihujat, maka telah terjadi pelanggaran hak asasi yang berat. Pelecehan agama bukan domain toleransi lagi, sebab toleransi adalah menghormati tanpa mencaci-maki. Jika konsep toleransi ‘dibumbui’ caci maki Shahabat, maka ini toleransi yang ilusi alias rancu. "Beda keyakinan seakan-akan jadi latar belakang, padahal sebetulnya bukan begitu," ujarnya, seraya berharap agar publik tidak terlena dengan mengaitkan kasus kekerasan itu dengan soal agama. Dia menegaskan, agama kerap hanya dimanfaatkan untuk memompa emosi masyarakat. Sebab, isu agama merupakan instrumen paling mudah untuk memobilisasi sentimen massa. Klaim 'sesat' yang disematkan pada aliran syiah, lanjut Muzakki, itu dipakai sebagai amunisi untuk menggeret isu beda kepentingan sosial politik tersebut ke isu agama.
Muzakki melihat, momen pertarungan kuasa politik lokal, terutama menghadapi Pilkada akhir tahun ini, tampaknya semakin memperkeras beda kepentingan sosial dan politik keluarga yang kebetulan masing-masing punya massa besar. "Apalagi ada event politik. Pengerasan itu lalu mempertemukan berbagai kepentingan itu dalam titik yang sama," tandasnya.
"Kegamangan aparat menambah ruwetnya kongsi politik di balik kerusuhan itu," imbuhnya. Problem kekerasan di Sampang itu memang dinilai cukup ruwet. Namun, Muzakki berharap agar pemerintah membawa kasus itu ke persoalan hukum pidana, bukan ke persoalan agama.

Keterbelahan, konflik ini menyebabkan beberapa kebijakan yang diskriminatif walaupun tidak sampai pada pengkafiran. Artinya kelompok Syiah masih dianggap sebagai muslim, bahwa antara Sunni-Syiah berada dalam satu agama. Kebijakan diskriminatif dalam agama ini antara lain orang-orang Syiah masih diijinkan untuk melakukan ibadah haji di tanah suci Makkah dengan membatasi jumlah jama’ah secara ketat. Hal ini karena radikalisme politik Iran telah menyebabkan penguasa konserfatif Sunni di Saudi Arabia harus bertindak tegas.

Usaha perdamaian memang selalu dimotori oleh otoritas Syiah Iran. Namun sebaliknya tampak tak berkurang dan mungkin takkan pernah berkurang kecurigaan kalangan Sunni kepada Syiah. Masing-masing memiliki kutub yang diametral antara Sunni-Syiah sehingga komunikasi selalu berujung pada bentuk sentimen dan emosionalisme. Kecintaan yang besar kalangan Syiah terhadap ahlul bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa dari kalangan Sunni kepada para sahabat Rasulullah. Perbedaan sentimentil ini telah menyebabkan konflik mendasar dalam penentuan hukum kedua dalam Islam yaitu hadits. Kelompok Syiah menganggap ucapan atau kabar dari ahlul bait dan para imam mereka sebagai sumber hukum kedua Islam lebih terjamin karena keyakinan Syiah tentang ‘ishmah atau kemaksuman para imam. Sedangkan, kaum Sunni tentunya tak bisa menerima ketentuan ini dan menentukan syarat kesinambungan (mutawatir), penyampaian dan integritas (tsiqat) setiap perawi hadits sebagai landasan kedua penentuan kualitas sumber hukum kedua dalam Islam bagi penentuan hukum syari’ah. Sebagai konsekuensi sumber hukum ketiga bagi hukum Islam, ijma atau konsensus juga berbeda pula dalam pengertiannya.

Bagi kaum Syiah, ijma’ tidak lain adalah konsensus para imam mereka, sedangkan bagi kaum Sunni ijma’ berarti konsensus para sahabat. Hal ini meruncing pada sumber hukum keempat yaitu ijtihad, juga punya pengertian lain. Bagi kaum Syiah ijtihad hanya mungkin dilakukan oleh ayatullah yang berkaliber marja’i taqlid, sedangkan bagi kaum Sunni, ijtihad bisa dilakukan oleh siapa saja yang memenuhi persyaratan mujtahid, bagaimanapun beratnya.

Perbedaan rumusan religius ini kemudian makin meruncing pada konflik politik sejak akhir pemerintahan khulafaur rasyidin. Pangkal konflik adalah menentukan siapa pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib, apakah Hasan cucunda Rasulullah Saw, atau Mu’awiyyah keluarga Utsman bin Affan. Lalu siapakah yang berhak menggantikan Mu’awiyyah, apakah Yazid putra Mu’awiyyah atau Husein cucunda kedua Rasulullah Saw. Kematian Husein yang mengenaskan di Karbala adalah tragedi umat Islam yang berdampak paling luas. Karena itu, kemudian muncul aqidah Syiah tentang taqiyah yang membolehkan penganutnya untuk menyembunyikan keyakinannya dalam keadaan darurat, dan diterapkan juga dengan sesama muslim.

Demikian juga dengan aqidah raj’ah yang dianggap menghina sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, yang merupakan reaksi emosional terhadap kewajiban mengutuk Ali bin Abi Thalib dalam khutbah-khutbah Jum’at selama pemerintahan daulah Ummayah. Warisan sejarah ini menyebabkan kaum Syiah banyak mencari alternatif dalam kondisi minoritasnya. Pilihan politik ini semakin mendongkolkan kaum Sunni dan menuduh kelompok Syiah sebagai sempalan Islam.

Sementara ini, kondisi politik dunia yang semakin mengglobal menyebabkan konfrontasi Sunni-Syiah semakin terbuka. Rekonsiliasi yang dilakukan Syiah ternyata tidak banyak membuahkan hasil signifikan. Hal ini karena konflik yang muncul tidak hanya karena perbedaan yang mendalam antara Sunni-Syiah, tetapi juga ada campur tangan pihak diluar Islam yang sengaja memanfaatkan kekeruhan, dan sentimen emosional agama. Amerika yang sudah sejak lama dekat dengan otoritas Sunni yang konserfatif di Saudi Arabia menggunakan legitimasi agama untuk terus menebar kebencian dengan Syiah. Propaganda ini dimanfaatkan betul dengan banyaknya pembantaian warga Sunni di Suriah. Otoritas pemerintahan Syiah di Suriah terus menerus menggempur basis Sunni di Allepo. Sentimen anti Syiah akhirnya menguat diseluruh negara Islam yang masyoritas Sunni, tak terkecuali di Indonesia.

kemampuan agama (masyarakat agama) juga harus dikembangkan dalam bentuk yang lebih unggul dengan tidak lagi mengganggap kelompok diri lebih unggul. Sikap eksklusifisme ini seringkali menjadi problem dalam mengembangkan masyarakat yang lebih maju. Yang harus terus kita kembangkan adalah menjadi komunikasi yang lebih intens antar berbagai kelompok agama di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya membangun komunikasi, dan dilanjutkan dengan dialog yang membahas masalah yang lebih substansial akan mengurangi keterbelahan Sunni-Syiah.

Dialog gagasan-gagasan yang bersifat kebangsaan sebenarnya sudah mencoba diletakkan lewat perdebatan yang dilakukan oleh para founding fathers kita. Debat antara Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang landasan keindonesiaan yang lebih akademis. Perdebatan dalam sidang BPUPKI dan PPKI antara golongan agama dan golongan nasionalisme. Perdebatan ini dimaksudnya untuk menemukan identitas keindonesiaan tanpa meninggalkan identitas kelompok kita.

Harus diakui bahwa sampai sekarang sebenarnya kita belum mempunyai kiat-kiat pengaturan kehidupan keberagamaan kita yang sangat majemuk. Pada tataran idelogis dasar komunikasi itu sudah ada. Namun dalam wilayah politik, apalagi menyangkut otoritas penguasa, yang tiap kelompok menganggap penting bahwa memegang kekuasaan adalah keharusan menjadi semakin susah untuk menemukan dialog. Pada tataran inilah, konflik sangat rentan terjadi dan bersifat laten.

Selain dialog, kesejahteraan masyarakat Islam di Indonesia juga harus ditingkatkan. Karena jika sudah sejahtera, orang seringkali memilih untuk hidup dalam perdamaian. Kekuatan dan kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan harus diutamakan, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad, ”kalau kita ingin dicintai oleh Allah, maka setiap muslim haruslah menjadi manusia yang kuat” – kuat dalam artian iman dan taqwanya, kuat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, kuat secara ekonomi, kuat secara jasmani dan mental spiritualnya, serta dalam budaya dan politiknya. Tidak pernah ada masyarakat dhuafa (the haves not) didunia ini yang mampu meraih kekuasaan sosial dan politik. Masyarakat dhuafa akan selalu merupakan masyarakat kelas bawah yang dengan mudah ditindas dan dimarjinalkan menjadi kaum mustadha’afin yang tidak berdaya. Senada dengan pernyaatan diatas maka, kelahiran Islam harus dipahami sebagai bentuk protes terhadap sistem kehidupan umat manusia di dunia, dan sebagai bentuk perlawanan terhadap masyarakat dengan barbagai gaya hidupnya, dalam wilayah yang seperti inilah dimensi revolusioner dan kritis dari agama (Islam) terlihat sangat jelas. Kelahiran Islam dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap adanya imperialsme dan kolonialisme dan penindasan oleh kaum-kaum yang menginginkan adanya kehancuran ummat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, dan melawan ketimpangan strata sosial yang tidak seimbang ditengah-tengah masyarakat

Kelompok XI
Khaerul Reski
Sultan 
Jurusan Ilmu Politik 
UIN Alauddin Makassar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes